Kamis, 01 Januari 2009

Sesudah Hamas berkuasa di Gaza, minuman keras dan prostitusi lenyap. Ulama, yang dulu sering “dibantai” Fatah lebih aman. Tapi Amerika kurang suka [bagian pertama]





Hidayatullah.com—AWALNYA, dunia terperanjat ketika Hamas secara tiba-tiba menduduki kantor Kepresidenan Mahmoud Abbas di Gaza, awal 14 Juni 2007 lalu. Hamas telah menguasai sepenuhnya Jalur Gaza, beberapa jam setelah Presiden Mahmoud Abbas membubarkan parlemen dan menyatakan keadaan darurat.

Kisah ini, adalah akhir dari gesekan antara dua pejuang pembebasan Palestina, Hamas dan Fatah, pimpinan Mahmoud Abbas. Kabarnya, akibat konflik tak ada ujungnya itu, sedikitnya telah menewaskan 100 warga Palestina.

Sehari Hamas berkuasa, sepanjang malam, bendera Hijau (bendera Hamas) berkibar sebagian wilayah Gaza. Para pendukung Hamas merayakannya di jalan-jalan. Sementara itu, pejuang Fatah terlihat diikat dan dibawa dengan mobil.

"Semua markas di layanan keamanan Jalur Gaza berada di bawah kontrol Brigade Izuddin al-Qassam, termasuk kompleks presiden," kata seorang jurubicara sayap bersenjata Hamas kepada kantor berita AFP. Brigade Izuddin al-Qassam adalah sayap militer bentukan Hamas paling ditakuti Israel.

Keputusan Hamas menguasai markas presiden adalah cara terakhir mencari konsilisasi dengan Fatah setelah beberapa kali usaha menyatukan pandangan tak berhasil. Namun Ismail Haniyah menolak anggapan terpisahnya Gaza dan Tepi Barat. "Jalur Gaza merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan bagian integral dari ibu pertiwi rakyat Palestina," tuturnya.

Liputan media massa asing kontan seragam. Bahkan, media massa Indonesia –yang sering hanya mengutip pers Barat—lebih membela Mahmoud Abbad dan kelompok Fatah yang justru berlindung pada Amerika dan Israel.



>> Warna putih kecil (Gaza Strip), tanah Palestina yang tersisa di Gaza. Selebihnya dicaplok Israel (Warna Hijau)


Karena Jalur Gaza adalah tempat paling rawan bagi wartawan, tempat ini nyaris tak terberitakan secara fair oleh banyak media. Diantara mesia lokal yang secara baik memberitakan kondisi tempat itu adalah Mafkarah Al Islam, yang memiliki koresponden di Gaza dan Palestina.

Sebagaimana dikutip Mafkarah Al Islam, kondisi Gaza pasca pertempuran begitu jauh berbalik 180 derajat sebagaimana banyak ditulis media asing (baca Barat) yang juga diikuti koran-koran Indonesia.

Sebelum pecahnya pertempuran antara Fatah dan Hamas yang berakhir dengan menyingkirnya Fatah dan pasukannya, kondisi jalur Gaza amat parah untuk bisa diceritakan. Kevakuman keamanan, rasa takut dan serangkaian kekacauan terjadi di mana-mana. Kecemasan dirasakan sepanjang waktu, tatkala Fatah berkuasa.

Aktivitas kejahatan seperti perampokan, serta aksi penculikan terhadap para ulama dan imam masjid penghafal Al-Quran serta pecahnya baku tembak dikarenakan masalah-masalah remeh, yang terjadi antar kelompok, pribadi atau antar keluarga.

Sekedar catatan, secara ekonomi, dengan luas hanya 365 kilometer persegi dan berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa, Jalur Gaza adalah tempat yang sempit. Ia tidak mampu menghidupi diri sendiri, tetapi sangat bergantung pada bantuan luar. Apalagi di saat Hamas kehilangan dukungan internasional. Boleh dibilang, dua pertiga dari jumlah penduduk itu hidup di bawah garis kemiskinan.

Jalur Gaza pun identik dengan penjara besar dan 'aquarium kemanusiaan' karena semua pintu gerbang menuju Jalur Gaza masih dikontrol Israel. Sejak kasus penyanderaan serdadu Israel, Gilad Shalit, Juni 2006, Israel lebih sering menutup semua pintu gerbang menuju Jalur Gaza.

Kekacauan merembet pada ketiadaan hukum. Termasuk permusuhan terhadap pengadilan-pengadilan, yaitu dengan membebaskan para tertuduh dengan paksa dari tuduhan, serta melepaskan orang-orang yang telah divonis dengan kurungan dan pengintimidasian terhadap para hakim supaya mau melepaskan pekerjaanya.

Kerusuhan bahkan berlanjut pada pembunuhan sejumlah ulama. Juga serangan terhadap Masjid. Menurut perhitungan Mafkarah Al Islam menunjukkan, bahwa lebih dari 30 masjid di jalur Gaza menjadi sasaran penyerangan dan penembakan secara langsung.

Dr. Shalih Raqab wakil Kementrian Wakaf dari jalur Gaza menyatakan, bahwa sembilan ulama terbunuh di tangan sempalan revolusi. Biasanya, mereka menjadikan orang-orang berjenggot dan mereka yang terlihat sebagai aktivis Islam sebagai sasaran. Puluhan kaum Muslim yang berjenggot telah menjadi korban penyiksaan sempalan pengikut Ahmad Dahlan, salah satu pengikut Fatah. Dan kekejaman yang paling buruk dari trend ini adalah hal yang telah dilakukan oleh sekelompok dari petugas keamanan pengikut Mahmood Abbas ketika menculik Hisam Abu Qainash pada hari Senin, (11/6). Qainas dilemparkan dari lantai lima belas. Namun situasi itu terhenti tatkala Hamas menguasa Gaza.



Minuman Keras dan Prostitusi



>> Mahmoud Abbas: Akrab dengan Israel


Semenjak Jalur Gaza dikuasai Brigade Izzuddin Al-Qasam, kota kecil yang padat ini nyaris terkendali. Sejumlah pendunduk dari berbagai tingkatan mengungkapkan dengan gembira ketenangan yang mereka rasakan, yang telah hilang sejak beberapa tahun. Adalah Syakir Ashfur. Pelajar dari Khan Yunis Gaza selatan yang juga mahasiswa di Universitas Islam Gaza mengungkapkan bahwa dia bisa aktif kembali untuk pergi ke universitas setelah sebelumnya hal itu tidak bisa ia lakukan dikarenakan ia berjenggot. Selain itu, ujarnya, posisi Universitas Islam Gaza sendiri berada di tengah-tengah titik konflik.

”Aku menghadapi kesulitan yang amat sangat ketika pergi untuk melaksanakan shalat Subuh dan isya di masjid. Aku merasa tidak akan kembali dalam keadaan hidup setelah shalat, kami merasa tidak aman sama sekali.”

Namun kekhawatiran itu ternyata tak terjadi. Yang terjadi adalah hancurnya kelompok Dahlani. Yang dimaksud dengan Dahlani ada pengikut setia pasukan Ahmad Dahlan, dari Fatah, kelompok bersenjata di bawah Presiden Mahmood Abbad.

Menurut Ashfur, hancurnya sempalan Dahlani adalah bentuk murka Allah terhadap mereka, dikarenakan pembangkangan mereka terhadap Allah, ulama dan para imam masjid.

”Istriku sudah tidak menanantiku lagi di depan pintu setelah hancurnya sempalan Dahlani, dikarenakan dia sudah tidak mencemaskan keselamatanku lagi setelah kembali dari masjid,” ujarnya sembari tersenyum.

Padahal, menurutnya, dulu, rumah sakit-rumah sakit pun tidak pernah berhenti mengumumkan keadaan darurat, dan beberapa rumah sakit yang berada di jalur Gaza pun tidak mampu lagi menampung jumlah korban yang disebabkan vakumnya keamanan. Unit darurat terbuka di setiap rumah sakit, hingga seakan-akan tempat itu telah berubah menjadi barak militer.

Sebuah organisasi independen untuk Hak-Hak Penduduk Palestina dalam data statistiknya pada tahun 2007 menunjukakkan bahwa dalam satu bulan rata-rata 54 orang tewas di jalur Gaza dikarenakan perselisihan keluarga, pencurian dan sebab-sebab lainnya yang menyebabkan hilangnya rasa aman.

Sekarang, hanya dalam waktu dua minggu Gaza di bawah kontrol al-Qasam beberapa sumber dari kalangan medis menyebutkan bahwa seluruh rumah sakit yang berada di penjuru Gaza tidak didatangi seorang pasien pun yang sakit atau terluka dikarenakan hilangnya kontrol keamanan.

Juga tidak tersiar lagi dari radio-radio setempat berita jatuhnya korban akibat keamanan yang tidak terkendali, sebagaimana yang biasa tersiar sebelum al-Qasam berkuasa, dimana beberapa keluarga jika ada perselisihan mereka tidak segan-segan untuk menggunakan senjata api dan peluru bahkan kemungkinan sampai kepada tahap penggunaan bom dan mortar.

Pagi hari, setelah al-Qasam mengumumkan menguasai jalur Gaza, Jumat, 15 Juni 2007, Milisi al-Qasam mendatangi pusat-pusat penjualan minuman keras. Diantaranya, tempat terkenal, At Tahliyah daerah Khan Yunis, Gaza daerah selatan. Tempat itu bisa dikuasai seluruhnya oleh al-Qasam dan dibunuhnya tiga “dedengkot” penjual dan produsen obat-obatan terlarang kemudian memusnahkan barang haram ini dengan jumlah yang amat besar.

Ahmad Asthal, salah satu penduduk yang tinggal satu wilayah dengan pusat obat-obat terlarang itu mengungkapkan rasa gembiranya atas “hukuman” yang ditimpakan kepada tiga “bandar” obat-obat terlarang itu. Ia menceritakan bahwa para penduduk enggan melakukan shalat jenazah untuk tiga orang itu, bahkan mereka menolak tiga janazah itu dibawa ke masjid, hanya dua orang saja yang mengubur mereka di pemakaman Khan Yunis.

Al-Qasam juga mendatangi rumah-rumah bordir dan tempat praktek prostitusi yang sebelumnya dilegalkan oleh pihak yang bertanggung jawab.

Sekarang sudah tidak ditemukan lagi di jalur Gaza. Sudah banyak diketahui bahwa di tempat inilah Israel menciptakan “tentara” dengan jumlah yang amat besar dari orang-orang Palestina sendiri, yaitu dengan mengambil gambar ketika meraka melakukan perzinaan dan mengancam akan menyebarkan gambar itu jika ia enggan membantu Israel. Biasanya, pria-pria yang direkam gambarnya ini lantas diperas agar bersedia menjadi ”mata-mata” Israel.

Juru bicara dari petugas keamanan, Islam Syahwan menegaskan bahwa sejak al-Qasam mengendalikan jalur Gaza, tidak ditemukan lagi praktek asusila di seluruh penjurunya.

Sebelum al-Qasam datang, perdagangan senjata berjalan sangat liar. Perdagangan ini, kabarnya “didirikan” oleh para penguasa sempalan revolusi, di mana senjata api bisa diperjualbelikan dengan bebas di sana, baik untuk mereka yang gemar berkelahi atau anak-anak muda yang suka pamer senjata.

Abdullah Hijazi, seorang penduduk yang tinggal di dekat pasar mobil mengatakan, ”Beberapa waktu yang lalu kami tidak merasakan ketenangan ketika tidur dan istirahat, dikarenakan percobaan senjata oleh para pedagang senapan dan pistol, serta penjajahan dagangan mereka kepada para pengunjung pasar.”

”Akan tetapi saat ini keadaan telah berubah, berbalik 360 drajat, anda tidak melihat lagi orang menenteng di jalanan Gaza, bahkan di pasar mobil sekalipun, dan kami tidak lagi mendengar letusan-letusan senjata api sehingga memungkinkan bagi anak-anak kami untuk keluar dari rumah sejak Al-Qasam menguasai Gaza, juga mereka bisa menikmati transportasi air serta pergi ke sekolah tanpa dibayangi kekhawatiran atas nyawa mereka,” ujarnya sebagaimana dikutip Mafkarah Al Islam.

Dan yang paling mencolok dari personel al-Qasam adalah konsistensi mereka dalam melaksanakan shalat berjamaah di pos-pos penjagaan mereka, di mana, kata Hijazi, akan dijumpai sekumpulan dari mereka berada di tengah pasar mencari tempat yang agak luas dan meletakkan senapan-senapan di depan mereka, lalu mendirikan shalat. Gambaran ini bertolak belakang dengan penampilan milis Fatah yang sering terlihat merokok atau dengan penampilan Barat nya.

Sayangnya, bulan madu umat Islam taka bertahan lama. Pesawat-pesawat F-16 buatan Amerika yang dikendalikan Zionis-Israel terus menghajarnya. Belu lagi tank-tank Israel telah berbaris menanti di belakang segera menghakimi Gaza tanpa peduli tekanan dunia. [Thoriq. Tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Hidayatullah Agustus 2007/www.hidayatullah.com] Bersambung

Tidak ada komentar: