Minggu, 08 Maret 2009

Bis Kota Antik ala Karimun

.










Chasis dari Kayu, Arsiteknya Asli Karimun



Bentuknya sederhana. Sekilas mirip kotak kayu panjang beroda. Yang membuatnya unik adalah keseluruhan rangka (chasis) terbuat dari balok kayu dan mengikat pada plat baja. Konon, bis antik model ini hanya ada tiga di dunia. Di Kamboja, India dan Tanjungbalai Karimun. Bagaimana sejarahnya?



IMMANUEL SEBAYANG, Karimun

Hari masih pagi. Cuaca lumayan cerah. Suasana Pasar Meral, Karimun terlihat semarak oleh aktivitas pedagang dan pembeli. Kondisi ini sangat berbeda dengan Terminal Pasar Meral, yang letaknya hanya 50 meter dari blok kios pasar. Di terminal ini tak banyak calon penumpang yang berkerumun layaknya sebuah terminal.


Padahal, lima unit bis kayu berbaris di areal parkir. Cat warni-warni pada badan bis terlihat menarik untuk ditumpangi. Sembari menunggu calon penumpang, beberapa supir duduk santai di warung pojok terminal. "Sekarang tak seperti dulu, Pak. Zaman keemasan bis kayu sudah berlalu," ujar Yanto, salah seorang supir bis kayu memulai kisahnya.


Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan bis kayu ini merayap di jalan raya Tangjungbalai Karimun. Namun dari dokumen BPKB, tertulis angka 1976 sebagai tahun bis ini mulai beroperasi.


Menurut penuturan Yanto, bis kayu ini didatangkan dari Pekanbaru. Bentuk awalnya sebuah truk besar lengkap dengan bak kayu di belakangnya. Kala itu, kebutuhan angkutan massal lebih mendesak daripada angkutan barang. Maka oleh pemilik truk, bak kayu diganti dengan rangka kayu beratap. "Kalau tak salah, almarhum Apek Lamyo arsiteknya yang pertama. Bisnya merek Ford kepala buaya," ujar Yanto menerawang, mencoba mengingat masa lalu.


Menurut pria yang sudah sebelas tahun membawa bis kayu ini, bentuk rangka kayunya terinspirasi dari lambung kapal kayu. "Ya, karena waktu itu lebih banyak kapal kayu daripada kendaraan. Kira-kira kalau kapal kayu dibalik pasti bentuknya jadi kubah," ujarnya tersenyum.


Tertarik dengan kreasi Apek Lamyo, hampir seluruh pemilik truk mengubah bentuk kendaraannya. Ada yang untuk kendaraan pribadi, tak sedikit juga yang turun ke jalan sebagai angkutan umum. Selain Apek Lamyo, tercatat nama Poniran, sebagai modifikator bis kayu hingga saat ini.


Melihat peminatnya cukup besar saat itu, maka beberapa juragan timah (dahulu Karimun terkenal sebagai areal penambangan timah), membeli bis lebih dari satu. Tak hanya merek Ford, berikutnya Mitsubishi, Isuzu, Toyota, Datsun dan Colt Diesel berseliweran di jalan raya Tanjungbalai Karimun hingga ke Moro.


Tahun 1990-an menurut penuturan para supir, merupakan masa kejayaan bis kayu. Apalagi pada tahun itu, produksi mobil dan sepeda motor masih sedikit. "Kalau sekarang sudah banyak ojek. Sepeda motor murah, angkutan opelet banyak yang baru dan lebih mewah," ujar Yanto sambil menyalakan rokok kreteknya.


Kegundahan Yanto sangat beralasan. Pasalnya, sekarang saja di jalan raya Karimun banyak dijumpai angkutan umum jenis carry keluaran terbaru. Belum lagi ratusan sepeda motor dengan tipe dan merek beragam. Jalan raya Karimun seakan tak mampu menampung pengguna. Tampaknya geliat peningkatan sektor ekonomi semakin membaik di kota ini.


Belum lagi merawat kenderaan tahun rendah, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi suku cadang bis kayu ini sangat sulit didapatkan. "Untuk spare part mesin memang masih ada. Karena apa yang bisa untuk truk pengangkut, bisa juga untuk bis ini. Tapi yang sulit mempertahankan kondisi keseluruhan bis agar tetap terlihat orisinil," tutur Yanto melirik bis kayu bercat kuning miliknya.


Sekilas bis kayu ini memang tak terlalu rumit pemeliharaanya. Apalagi kaca bagian depan tampak tak lazim. Bila pada kendaraan mobil umumnya, menggunakan kaca fabrikan berbentuk cembung, pada bis kayu kaca itu tak berlaku. Karena bis kayu menggunakan dua bilah bingkai kaca 5 mm berbentuk kusen (kaca nako). Bingkai kaca berengsel ini bisa dibuka keluar sebagai ventilasi. "Jadi tak perlu lagi AC. AC kami lebih kencang," cetus Christian, supir bis kayu yang ditemui di Halte Simpang Bukit Tembak, Meral.


Menurut pria asal Flores itu, meski keseluruhan rangka terbuat dari kayu, bukan berarti tak bernilai. "Rangka bis ini terbuat dari kayu cengal. Sejenis kayu laut yang sulit diperoleh. Kalaupun ada harganya bisa lebih mahal dari besi. Biasanya hitungannya pakai kurs dolar Singapura per meter," ujarnya, di sela-sela menunggu calon penumpang.


Kayu cengal atau lebih dikenal dengan kayu besi, biasa digunakan sebagai pondasi rumah panggung di tepi laut. Kayu ini beserat rapat dan keras. Cukup rumit untuk dipaku. Tukang kayu biasanya menggunakan bor khusus atau kawat baja untuk merangkainya.


Karena langka dan mahal, ada anekdot di kalangan supir, kalau kecelakaan lebih baik bodi bis yang rusak daripada kayunya yang patah. "Patah sedikit bisa pusing. Karena tak mungkin disambung besi. Nanti jadi rusak semua karena karat," ujar Christian, yang baru bergabung satu bulan tersebut.
Rumitnya pemeliharaan bis kayu, memaksa pemilik bis harus kreatif. Misalnya, kalau dulu pintu bis juga terbuat dari papan kayu cengal, saat ini hampir seluruhnya menggunakan plat sejenis pada bodi bis. Bahkan sebagian rangka kayu sudah ada yang disisipi alumunium.


Itu masih seputar rangka kayu. Belum lagi interior bagian dalam bis. Sangat sulit dilakukan pemeliharaan. Kabin supir misalnya, panel-panel peraga seperti indikator bahan bakar, speedometer dan persneling gigi sudah tak ada lagi. Padahal bis ini kuat melaju hingga 120 km/jam, dengan 5 persneling gigi. Untuk bahan bakar, supir bis biasa menggunakan feeling.


"Kapasitas tangki 100 liter dengan bahan bakar solar. Satu hari rata-rata cuma ada 10 penumpang. Padahal muatan bis sanggup mengangkut 20 orang penumpang. Dengan ongkos berkisar Rp3.000-Rp4.000 per orang, tak mungkin cukup untuk mengisi bahan bakar penuh," ujar Antok, supir lain yang ngetem di Terminal Pasar Meral.


Beruntung, Antok cukup membayar setoran harian Rp40 ribu kepada pemilik bis. Namun terkadang menurutnya, hasil nambang satu hari hanya cukup untuk isi bahan bakar dan makan sehari. Kondisi ini semakin rumit, ketika jalur bis kayu dikhususkan untuk jarak jauh, seperti Meral, PN, Tebing, Balai dan Pangka. Untuk jarak tempuh dalam kota, sudah ada opelet sejenis Carry dan ojek yang siaga di tiap persimpangan.


"Mungkin karena ukuran bis yang lumayan besar. Sehingga menyulitkan untuk melintas di jalan-jalan sempit. Tapi itu tak jadi kendala. Yang kami butuhkan adalah perhatian khusus untuk kelangsungan bis ini. Bagaimanalah caranya, agar bis antik ini bisa dikemas jadi daya tarik pariwisata di Tanjungbalai Karimun," tegas Yanto penuh harap.


Yanto memaparkan beberapa contoh. Seperti becak dayung di Singapura, dijadikan daya tarik bagi wisatawan. Atau opelet Mandra (Si Doel Anak Sekolahan) di Jakarta, tetap dilestarikan sebagai properti syuting film.


Mencoba bertahan di tengah persaingan, Koperasi Sinar Karimun Indah yang menaungi bis kayu, menawarkan angkutan ini sebagai carteran kepada perusahaan besar. Beruntung, beberapa di antaranya seperti PT Saipem dan PT Sembawang masih setia menggunakan bis ini sebagai transportasi untuk karyawannya.


Selain karyawan dan anak sekolah, menurut para supir, tak jarang turis asing dari Singapura dan Malaysia menggunakan bis ini. "Sering juga rombongan turis mencarter bis ini. Sekedar untuk jalan-jalan keliling kota. Lumayanlah, bisa bernapas sekejap," ujar supir lain menimpali.


Meski jumlahnya masih ada seratusan di Tanjungbalai Karimun dan Moro, namun bukan mustahil bis kayu khas Karimun akan hilang ditelan zaman. Bila tak ditangani serius, aset Karimun ini tinggal kenangan. Nasibnya akan sama dengan becak dan bajaj di Jakarta, atau bemo di Medan. Lalu, satu waktu nanti, kita hanya punya fotonya, sedangkan negara lain punya duplikat aslinya.***



batampos.co.id
Minggu, 08 Maret 2009
foto internet

Tidak ada komentar: