Sabtu, 31 Januari 2009

Naik Keretaapi Wisata Padang - Pariaman




Dulu...
Di suatu siang yang cerah di awal tahun 1967. Seorang pria muda turun bendi, berjalan menuju loket di stasiun Tabing, Padang. Setelah memperoleh karcis hijau selebar dua jari, dia menuju peron, terus naik ke gerbong penumpang.
Lokomotif uap hitam legam langsir di jalur kiri, dan kemudian menyatu dengan rangkaian gerbong. Suatu sentakan dibarengi bunyi berdentam merambat dari ujung depan ke ujung belakang rangkaian gerbong sepanjang 80 meter.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi pluit, disusul lengkingan dari lokomotif, pertanda keretaapi akan bergerak. Gerbong penumpang dan gerbong barang dipenuhi para penumpang dan beraneka barang. Si pria muda tadi, duduk di bangku beralaskan anyaman rotan yang sudah reyot. Daun bekas bungkus lepat dan ketupat, teronggok di sudut gerbong.

Tingkap di deretan jendela gerbong, terbuka miring, tak dapat di geser. Keretaapi mulai bergerak ke utara. Abu bara dengan baunya yang khas, mulai beterbangan, dan sebagian masuk ke gerbong. Ketika asyik melihat sawah, ladang berselingan dengan semak belukar yang tampak berlarian, si pria muda terkejut merasakan sentuhan kondektur yang menanyakan karcis. Karcis hijau diberikannya. Kondektur mengamati, dan melubangi karcis, dan mengembalikannya. Selang beberapa jam, setelah berhenti berkali-kali di berbagai stasiun, rangkaian gerbong tiba di Lubuk Alung, persimpangan rel menuju Padang Panjang, dan ke Pariaman.

Setelah berhenti agak lama, keretaapi yang ditumpangi si pria muda itu, lanjut ke Pariaman. Di Lubuk Alung, naik seorang aneh yang sangat terkenal sebagai Angku Saliah. Oleh sebagian orang, Angku Saliah dianggap keramat, namun oleh sebagian lainnya dianggap majenun. Penampilannya unik, yaitu baju putih teluk belanga, kain sarung melilit leher, berpeci hitam, bercelana lapang, dan membawa bungkusan.
Tingkah laku dan omongannya aneh. Kertas-kertas bungkus rokok dikumpulkannya, dan dia berbicara tentang hari kiamat telah dekat karena telah banyak terjadi hal yang bukan-bukan. Semua penumpang, telah maklum akan hal itu, dan tidak merasa asing dengan Angku Saliah. Selepas stasiun Pauhkamba, di suatu pesawangan, keretaapi itu mendadak berhenti, dan lama. Para penumpang gelisah, saling bertanya-tanya.

Kegelisahan penumpang berangsur sirna, bersamaan dengan berita dari mulut ke mulut tentang baru tertangkapnya si Bagak dan si Udin Kabau. Kedua buronan itu, tertangkap di atas puncak pohon kelapa di suatu kebun yang penuh pohon kelapa.
Persembunyian kedua buronan diketahui oleh beruk yang tidak mau memetik kelapa tempat bersembunyinya si Bagak. Tukang beruk heran dan mencermati kelakuan beruk, dan melaporkan hal yang mencurigakan itu kepada petugas. Segera saja massa dan petugas mengepung pepohonan kelapa yang terletak di tepi rel keretaapi. Akibatnya, keretaapi tidak dapat lalu.

Menjelang senja, keretaapi tiba di stasiun Kuraitaji. Si pria muda turun, dan berjalan kaki ke suatu simpang, tak jauh dari stasiun. “Ondeh...! Ajo Raf baru sampai”, suara merdu dari seorang wanita menyambut pria muda tersebut.
“Siapa, Rafilus tiba?, tanya wanita tua yang terbaring lemah di ranjang dekat jendela (Catatan: Percakapan ini khayalan penulis berdasarkan permulaan novel Warisan, karya Chairul Harun, setting tahun 1967-an).

Kini...
Empatpuluh dua tahun kemudian, awal tahun 2009. Di suatu pagi, saya naik kereta api dari stasiun Tabing, Padang. Satu-satunya keretaapi adalah tujuan ke Kota Pariaman. Nama keretaapinya Sibinuang. Saya nyaris tertinggal, karena terlambat.
Berlari nyeberang jalan raya sebagai penumpang terakhir yang naik sebelum keretaapi berlokomotof mesin diesel bergerak. Lokomotif diesel penarik gerbong melengking, menyusul bunyi pluit ditiup oleh kondektur.
Kereta mulai bergerak pada pukul 06:30 WIB dengan sentakan lembut. Gerbong berkapasitas 106 penumpang, dengan sebagian besar bangku kosong. Deretan bangku warna hijau, bersih. Saya membawa ponsel canggih dengan program GPRS. Karena tingkap gerbong tak dapat dibuka, saya duduk di jenjang kanan menghadap langsung keluar di mana sinyal GPRS tertangkap optimal. Kondektur memeriksa karcis, dan saya bayar Rp2.500, untuk tujuan Kota Pariaman. Memasuki kawasan Lubuk Buaya, daun dari pepohonan yang terjulai rapat ke gerbong, sering menyentuh tangan.

Keretaapi berhenti pertama di stasiun Duku, tak lama kemudian berhenti di stasiun Pasa Usang. Setelah itu, berhenti di stasiun Lubuk Alung, cabang rel menuju Padang Panjang.
Beberapa penumpang berpakaian rapi, turun, dan naik di Lubuk Alung. Perjalanan terus ke arah Sintuak, keretaapi berhenti di tengah semak belukar yang sedemikian rapat sehingga ranting dan dedaunan menjulur ke dalam gerbong. Tak lama kemudian berhenti di stasiun pasar Pauhkamba, keretaapi berhenti di depan bangunan stasiun yang compang-camping.

Perjalanan dilanjutkan menuju Kuraitaji, dan berhenti di depan stasiun yang atapnya sudah copot sebagian dan tulisan nama stasiun sudah tak terbaca karena lapuk dimakan usia.
Sebelum masuk ke stasiun Kota Pariaman, keretaapi berhenti di tengah sawah, sekitar tiga menit. Kendaraan di jalan raya menunggu dengan sabar di persilangan dengan rel keretaapi yang berhenti tanpa kejelasan sebab itu.
Tiba di stasiun Kota Pariaman pada pukul 08:10 WIB. Di Kota Salalauak ini, saya berjalan-jalan di pasar, mencari koran dan ngopi di stasiun. Tak lama kemudian naik keretaapi lagi kembali ke Padang. Bangku juga banyak kosong. Penumpang yang naik kebanyakan para wanita dan anak-anak. Selama perjalanan bolak-balik dari Kota Padang ke Kota Pariaman, saya tidak melihat para pengamen, atau orang seaneh Angku Saliah. Penjaja makanan masih tetap ada seperti suasana perkeretaapian tahun 1967-an. Gaya manjojoan galehnya masih serupa, yaitu dengan nada khas menyebutkan salaluak, atau talua asin.

Esok...
Tidak ada orang mengetahui persis apa yang akan terjadi esok. Yang dapat hanyalah memperkirakan, atau bagi sebagian orang mungkin menujumkan. Berdasarkan perkembangan mutakhir, dan situasi aktual, keretaapi di Padang Pariaman untuk beberapa tahun ke depan tetap saja bagai “kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tidak mau”.
Memang terdengar upaya menghidupkan perkeretaapian di seluruh Sumbar, termasuk di Padang Pariaman, namun upaya itu tampaknya cukup berat. Salah satu kendala adalah jumlah persimpangan (persilangan) antara jalan raya dengan rel yang sangat banyak, mungkin ratusan.

Jumlah penumpang dan jumlah barang juga minim, karena angkutan di jalan raya dengan kendaraan bermotor tampak lebih disukai masyarakat.
Situasi sosial budaya di Sumbar adalah sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan keretaapi tidak sedahsyat kebutuhan masyarakat Jabodetabek di sekitar Kota Jakarta terhadap keretaapi. Namun, untuk pariwsata, perkertaapian di Sumbar, masih berprospek cerah. Untuk itu, peranan pemerintah daerah tentu saja sangat penting. Semoga keretaapi di Sumbar jaya.o*Laporan Syafrizal Harun

hariansinggalang.co.id

Tidak ada komentar: