Selasa, 10 Februari 2009

Cerita Batu Ajaibnya Ponari

Rabu, 11 Pebruari 2009




JOMBANG, TRIBUN - Apa sebenarnya batu ajaib milik Ponari, dukun culuk asal Megaluh Jombang yang aksinya mencengangkan Jawa Timur itu? Menurut Ponari, batu ajaib itu ditunggu dua makhluk gaib, laki-laki dan perempuan bernama Rono dan Rani. Dua makhluk gaib itulah yang selama ini, yang memberikan amanat kepada Ponari menolong orang sakit, melalui batu yang ditemukan pertengahan Januari lalu.

Kisah penemuan batu sebesar kepalan tangan anak-anak berwarna coklat kemerahan itu, cukup dramatis dan bernuansa mistis. Ponari dalam ceritanya beberapa waktu lalu mengungkapkan, batu itu ditemukan secara tidak sengaja, yakni saat hujan deras mengguyur desanya.

Sebagaimana bocah-bocah seusianya, Ponari bermain-main di bawah guyuran hujan lebat, yang sesekali diiringi suara geledek. Pada saat itu, lanjut Ponari, bersamaan suara petir yang menggelegar, kepalanya seperti dilempar benda keras.

Sejurus kemudian, Ponari merasakan hawa panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Bersamaan itu, Ponari merasakan ada batu berada di bawah kakinya. Batu tersebut mengeluarkan sinar warna merah. Karena penasaran, batu itu dibawa pulang, dan diletakkan di meja.


Celupan Batu Ponari Raup Ratusan Juta

Tak bisa disangkal, sejak menemukan batu ajaib dan secara "resmi" melakukan pengobatan dengan mencelupkan batu ke dalam air putih pasien untuk diminum, Ponari selalu kebanjiran pasien. Lantas, berapa penghasilan Ponari dari puluhan ribu pasien yang datang? Sedikitnya mencapai Rp 328 juta. Informasi itu datang dari Senen (70), kakek Ponari. Bahkan, sekarang jumlah itu bisa lebih banyak karena menurut Senen, jumlah Rp 328 juta merupakan jumlah yang diketahui pada Jumat (6/2).

“Saat itu saya yang menyetor uangnya ke bank,” kata Senen yang ditemui pada Senin. Jumlah sebesar itu memang sangat wajar. Sebab, sejak buka praktik pada 17 Januari, rata-rata setiap hari Ponari mengobati 5.000 orang.

Jika setiap pengunjung yang berobat itu memasukkan uang ke kotak amal yang disediakan rata-rata Rp 5.000, sampai Jumat, yakni selama 20 hari pengobatan (setelah dikurangi libur setiap Jumat dan libur akibat penutupan sementara empat hari), akan terkumpul uang Rp 425 juta.

Senen mengaku, tidak semua uang dari kotak amal dimasukkan ke bank, tetapi sebagian juga untuk kebutuhan operasional sehari-hari, seperti sewa tenda, pengeras suara, dan makan minum panitia. “Kalau jumlah totalnya saya kurang tahu,” kata Senen.

Hitung-hitungan di atas kertas, jumlah yang diterima Ponari lewat kotak amal jauh lebih tinggi karena banyak pengunjung memasukkan uang ke kotak amal lebih dari lembaran Rp 5.000.

Apalagi, banyak pengunjung yang membawa lebih dari satu wadah air putih karena dititipi kerabat dan tetangga Logikanya, uang yang dimasukkan ke kotak amal lebih dari Rp 5.000.

Memang, panitia selalu mengumumkan kotak amal disediakan untuk diisi secara sukarela khusus bagi yang mampu. Jika tidak mampu, panitia juga tidak memaksa.

Pada awal-awal melakukan praktik pengobatan, ketika jumlah pengunjung masih sangat sedikit dan Ponari yang langsung menerima, Ponari memberikan persyaratan agar uang diberikan tak lebih dari Rp 5.000.

Namun, dalam perkembangannya, peluang pengunjung memberikan uang lebih dari Rp 5.000 itu terbuka lebar. Sebab, sekarang pengunjung memasukkan uang terbungkus amplop ke kotak tanpa diketahui Ponari.

Sistem karcis

Selain dinikmati Ponari (dan keluarganya), ramainya pengobatan Ponari juga dinikmati tetangga dan warga desa setempat. Untuk panitia misalnya, sekarang juga bisa mendapatkan hasil dari "penjualan" karcis yang setiap karcis harus ditebus dengan Rp 1.000.

Awalnya, sistem karcis diterapkan untuk membatasi membeludaknya pengunjung. Artinya, jika karcis yang terjual sudah sampai pada nomor urut 10.000, penjualan dihentikan.

Namun, dalam praktiknya, sampai nomor urut 15.000 pun tetap dilayani. Ini karena proses pengobatan memang berjalan sangat singkat sehingga 15.000 orang pun bisa terlayani dalam sehari.

Proses pengobatan sendiri dengan cara Ponari digendong di punggung kerabat membawa batu ajaib kemudian berkeliling mencelupkan batu ke wadah-wadah berisi air putih yang dibawa pasien atau pengunjung. Setiap wadah rata-rata hanya perlu satu detik untuk menerima celupan batu milik Ponari.

Selain dari penjualan karcis, rezeki dari ramainya pengobatan Ponari pun datang dari usaha parkir sepeda motor dan mobil yang sekarang ini bermunculan di desa setempat. Sejumlah usaha parkir yang dikelola kelompok-kelompok warga ini menarik ongkos parkir bervariasi, mulai dari Rp 3.000 hingga Rp 10.000.

Jika setiap hari ada 500 sepeda motor dan mobil yang masuk ke areal parkir yang dikelola warga, sudah tampak penghasilan yang lumayan besar. Belum lagi kalau kebetulan pasien membludak seperti kemarin. Parkir mobil yang berderet saja mencapai sekitar 2 kilometer.

Itu sebabnya, panitia pengobatan Ponari dan warga setempat bersedia saja ketika diminta partisipasinya melakukan pavingisasi atau pengerasan jalan-jalan kediaman rumah Ponari.

“Kami ini mendapat rezeki dari dia, wajar kalau kami juga menyisihkan rezeki ini untuk hal-hal seperti itu. Lagi pula, perbaikan jalan ini juga untuk kelangsungan dan kelancaran pengobatan ini,” kata Suwanto, panitia pengobatan.(surya)

tribunbatam.co.id

Tidak ada komentar: