Kamis, 26 Februari 2009

Orang Miskin Dilarang Merokok


MEROKOK tak mengenal kasta. Perokok dapat berasal dari kalangan eksekutif sampai pengangguran. Sering kita lihat juga seorang pemulung, tukang becak atau para pekerja kasar lainnya yang santai mengisap rokok. Rokok yang dihabiskan sehari-hari ternyata bukan dalam jumlah yang sedikit. Bahkan, tak sedikit yang rela mengorbankan penghasilannya demi kenikmatan sesaat mengisap asap tersebut.

"Tiap hari saya menghabiskan tiga bungkus rokok. Penghasilan saya seharinya itu sekitar Rp 50.000. Setengah penghasilan itu buat rokok," kata Subardi, seorang supir Kopaja berbagi pengalamannya.

Ia mengaku penghasilannya saat ini sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, untuk melepaskan diri dari rokok berat karena sudah dilakukannya sejak 30 tahun lalu.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Univeritas Indonesia, ditemukan fakta bahwa keluarga miskin memang menghabiskan sebagian besar uang mereka untuk memenuhi kebutuhan akan tembakau dan sirih.

"Jika keluarga miskin dibandingkan dengan keluarga kaya, akan terlihat pengeluaran rumah tangga perokok termiskin terhadap tembakau dan sirih lebih tinggi yaitu 9,3 persen dan keluarga kaya hanya mengeluarkan 6,8 persen," papar Ayke Soraya Kiting, peneliti dari Lembaga Demografi FEUI dalam jumpa pers yang membahas beban konsumsi rokok bagi kelurga termiskin di Jakarta, Kamis (26/2).

Pada keluarga miskin, rokok menempati urutan kedua konsumsi terbesar setelah padi-padian sedangkan pada keluarga kaya pada urutan keenam. Ia mengatakan, setengah keluarga miskin di Indonesia mempunyai pengeluaran untuk merokok.

"Pada tahun 2005, empat dari sepuluh rumah tangga miskin mengonsumsi rokok. Lalu pada tahun 2006, angka tersebut meningkat menjadi 5 dari 10 rumah tangga miskin mengonsumsi rokok," terang Ayke.

Konsumsi rokok lebih besar daripada kebutuhan lain. Rata-rata pengeluaran untuk rokok pada keluarga miskin adalah 17 kali lebih besar dari pengeluaran untuk daging, 15 kali lebih besar dari pengeluaran untuk biaya pengobatan, 9 kali lebih besar dari biaya pendidikan, 5 kali lebih besar dari pengeluaran susu dan telur, dan 2 kali lebih besar dari pengeluaran untuk ikan.

Pada kesempatan yang sama, Abdillah Ahsan yang juga peneliti dari Lembaga Demografi FEUI mengatakan, salah satu yang menjadi alasan bagi keluarga miskin tetap merokok adalah mudahnya rokok didapat. Rokok itu barang yang legal, dapat dibeli di mana saja.

Padahal, telah menjadi pengetahuan umum bahwa merokok merusak kesehatan. Jika kesehatan terganggu, produktivitas pun akan turun. Keluarga miskin harus menanggung akibat yang lebih besar jika ada anggota keluarga sakit karena rokok.

"Itu jelas akan semakin memperparah keadaan ekonomi keluarga miskin," kata Abdillah. Jelas bahwa keluarga miskin harus berpikir dua kali untuk tetap merokok karena keputusan untuk bertahan merokok membuat keluarga tetap miskin atau bahkan makin miskin. Boleh jadi orang miskin memang dilarang merokok.(kps)


tribunbatam.co.id
kamis, 26 februari 2009

Tidak ada komentar: