Kamis, 12 Februari 2009

Raja Minangkabau Wafat 12 Februari


Oleh Alfian Jamrah

Ketika seorang anak Palembang bertanya kepada orangtuanya, siapa pahlawan yang raja dari daerahnya, maka si orangtua akan menjawab Sultan Mahmud Badaruddin II (1768-1852). Begitu juga ketika anak Jambi mencari figur pahlawan, maka akan diperoleh jawaban Sultan Thaha Syaifuddin (1816-1904). Anak dari Jawa bila memberikan pertanyaan serupa akan ada pula jawabannya, yakni Sultan Agung (1591-1645). Orangtua di Makassar akan memberikan jawaban: Sultan Hasanuddin (1631-1670). Seterusnya ada pula Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1683), Sultan Syarif Kasim II (1893-1968) dan banyak lagi yang lainnya yang berasal dari turunan raja-raja di Nusantara.


Kemudian ketika anak Minangkabau bertanya siapa pahlawan yang raja dari daerahnya, maka si orangtua akan menjawab Sultan Alam Bagagar Syah (1789-1849). Kita telah sering menyatakan, Sultan Alam Bagagar Syah adalah Raja Alam Minangkabau yang terakhir. Dan ada pula yang menyatakan sebagai Raja Pagaruyung terakhir sehingga fotonya berukuran besar dipajang di Istano Basa Pagaruyung sebelum terbakar.
Pada cap/stempelnya tertulis “Soeltan Toenggoel Alam Bagagar Ibn Soeltan Chalifatoe’llah jang mempunyai takhta keradjaan dalam negeri Pagarroejoeng dar al-quarar djohan berdaulat zilloe’llah fi’l-’alam”

Sedangkan pada sisi lain beliau juga berjuang melawan penjajah Belanda sehingga beliau ditangkap, ditawan, disiksa, dibuang dan diperjarakan sehingga tidak boleh pulang ke kampung halamannya. Tapi berbeda dengan raja-raja dari daerah lain yang telah diangkat jadi Pahlawan Nasional, beliau masih belum meskipun beliau telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) di Kalibata Jakarta.


Namun Suryadi, orang awak yang jadi dosen pada Opleiding Talen en Culturen Van Indonesia di Leiden Belanda menulis pada Padang Ekspess (24/4/2008): apabila Sultan Alam Bagagar Syah diangkat menjadi pahlawan maka akan dapat menjadi pemersatu dan tidak ada lagi perpecahan antara adat dan agama.

Ketokohan beliau sebagai seorang raja dan sekaligus juga sebagai manusia biasa tentu tidak luput dari kelebihan dan kekurangan. Beliau punya catatan putih dan juga punya catatan kelabu, yah tak obahnya seperti manusia lain, sama dengan tokoh lain dan bahkan juga dialami oleh tokoh yang telah berstatus Pahlawan Nasional.

Sejarawan, Prof DR Taufik Abdullah dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, pahlawan juga mempunyai catatan kelabu karena mereka adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.

Namun bila ditimbang dengan diteliti, maka ketokohan Sultan Alam Bagagar Syah ini akan lebih banyak positifnya dan kita akan bangga bercerita tentangnya seperti sultan-sultan lainnya di Nusantara.

Sultan Alam Bagagar Syah adalah Raja Alam Minangkabau/Raja Pagaruyung terakhir yang pengaruhnya melebihi wilayah Sumatera Barat sekarang ini. Ada 39 Sapiah Balahan Kuduang Karatan dan 36 Kapak Radai Timbang Pacahan yang menjadi bagiannya yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara. Juga ada masyarakat di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Selatan yang menyatakan dengan bangga bahwa mereka keturunan dari Minangkabau. Namun yang pasti masyarakat Negeri Sembilan secara tegas menyatakan bahwa mereka berasal dari Minangkabau dan hingga saat ini masih banyak yang datang ke Pagaruyung, katanya melihat tanah leluhur. Menurut Sutan Mahmud, seorang ahli adat Minangkabau di Batusangkar, bahwa 30 persen penduduk Brunai Darussalam adalah keturunan Minangkabau dan mereka mengakuinya. Demikian besar dan luasnya pengaruh Minangkabau di Nusantara ini.

Sultan Alam Bagagar Syah adalah Raja Alam Minangkabau dan raja terakhir Pagaruyung. Beliau punya pengalaman pahit dan bahkan sangat memilukan dengan kolonial Belanda. Pada 2 Mei 1833 beliau ditangkap dengan cara licik oleh Belanda di Benteng Van der Capellen Batusangkar sekarang. Beliau dituduh merongrong kekuasaan Belanda melalui suratnya yang memicu pemberontakan besar di Minangkabau pada tanggal 11 Januari 1833. Pada waktu ditangkap tangannya diborgol dan dipermalukan di hadapan rakyatnya sendiri. Kemudian beliau dibawa ke Padang dengan kuda dan pada setiap pemberhentian kakinya juga dipasung agar jangan melarikan diri. Di Padang beliau ditahan di penjara Muaro sekarang ini hingga dibuang ke Batavia pada 24 Mei 1833 dengan menggunakan kapal Calypso.

Berdasarkan Besluit Nomor : 2255/1740 tanggal 3 Juny 1833 beliau ditahan di penjara bawah tanah di penjara Batavia (kini Museum Fatahillah) sebagai tahanan politik dan tidak boleh berkomunikasi dengan tahanan lainnya.

Beliau memang pernah dibebaskan akan tetapi tidak boleh pulang ke Minangkabau karena ditakutkan beliau akan menyusun pemberontakan yang lebih besar lagi. Akhirnya beliau wafat sewaktu masih dalam masa pembuangan pada tanggal 12 Februari 1849 dan dimakamkan di Mangga Dua - Batavia.

Sungguh tragis nasibnya. Sebelumnya beliau juga pernah menjadi Hoofdregent van Minangkabo (1824) dan sebagai Regent van Tanadatar (1826), tapi bukan berarti beliau bekerja sama dengan Belanda.

Pada tahun 1974 Pemerintah DKI Jakarta akan memindahkan makam beliau karena di situ akan dibangun pertokoan Mangga Dua. Mendengar khabar itu, tokoh-tokoh Minangkabau di Jakarta tersentak karena makam Raja Alam Minangkabau itu akan dipindahkan. Kemudian mereka berkumpul dan membentuk panitia yang diprakarsai oleh Buya HAMKA.

Panitia tersebut di-ketua-i oleh Buya HAMKA dengan Sekretaris Drs.Mardanas Safwan. Pelindung DR.H.Mohammad Hatta, Prof.DR.Bahder Djohan dan Prof.DR.Hazairin, DH.

Kemudian mereka mengusahakan agar makam itu dapat dipindahkan ke TMPN Kalibata Jakarta. Akhirnya Sekretariat Militer Presiden pada Sekretariat Negara RI melalui suratnya Nomor : 18/STEMIL/A/I/1975 tanggal 8 Januari 1975 menyatakan bahwa Presiden RI telah menyetujui pemindahan makam Sultan Alam Bagagar Syah ke TMPN Kalibata Jakarta.

Prosesi pemindahan makam tersebut dilakukan pada 12 Februari 1975 yang bertepatan dengan 126 tahun wafatnya beliau. Upacara pemindahan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh Minangkabau yang ada di Jakarta, Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, LKAAM, keluarga dari Pagaruyung dan berbagai unsur lainnya.

Di TMPN Kalibata Jakarta terlihat makam beliau bernomor 122 dan di batu mejannya tertulis: “Sultan Alam Bagagarsyah Raja Alam Minangkabau Terakhir, Lahir: 1789, Wafat: 12-2-1849”.

Tanggal 12 Februari 2009 ini genap 160 tahun wafatnya Sultan Alam Bagagar Syah Raja Alam Minangkabau. Mari kita kenang perjuangan beliau sebagai seorang manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan, namun telah banyak berkorban sehingga dapat dibanggakan oleh orang Minangkabau dan Indonesia.

Tahun 2008 yang lalu beliau telah diusulkan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta organisasi sosial/kemasyarakatan se-Sumatra Barat kepada Presiden RI untuk diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Tapi usaha itu belum memberikan hasil, dan semoga tahun 2009 ini akan terwujud. Amin! *


hariansinggalang.co.id

Tidak ada komentar: