Senin, 16 Februari 2009

Yang Tersisa dari Perjalanan ke Papua (2)

Laporan Nany Wijaya,JPNN Wamena


Pegunungan Wamena



Di Timika Dibayar Emas, di Wamena Gaharu


Di Papua, Timika dan Wamena adalah dua kota yang dilihat dari sudut pandang apa pun memiliki status sama: a must visit city. Kota yang wajib dikunjungi karena keduanya sama-sama menarik untuk diamati. Baik dari segi ekonomi, budaya, maupun (maaf) penyebaran HIV/AIDS. Tentang yang terakhir itu, inilah pengamatan wartawan JPNN, Nany Wijaya.


TAK bisa dibantah bahwa makin tahun kehidupan ekonomi di Timika semakin baik. Itu bisa dilihat dari kian banyaknya jumlah pendatang yang mendulang kehidupan di ibu kota Kabupaten Mimika itu.


Sebagaimana kota lain yang ekonomi daerahnya berkembang pesat, Timika pun mengalami ekses yang sama: Meningkatnya jumlah pekerja seks komersial (PSK) pendatang. Seperti semut, mereka datang ke tempat di mana ada gula.
PSK di Timika dan daerah-daerah lain di Papua berbeda dengan rekan-rekan mereka di Jawa dan daerah lain di luar Papua. Mayoritas PSK di sana menjalankan strategi jemput bola. Jadi, konsumen tidak perlu repot-repot mencari mereka. Dengan sedikit tambahan honor, PSK-PSK itu dengan senang hati mendatangi konsumennya.


Tidak sedikit PSK yang mendatangi daerah-daerah penambangan emas liar pada sore hari, menjelang para penambang pulang. Atau, setelah para penambang liar itu menukarkan butiran emas hasil dulangannya ke pengepul.


Namun, kabarnya, tidak sedikit penambang yang menemui PSK langganannya sebelum setor ke pengepul. Lantas, dengan apa mereka membayar para penjaja cinta itu? ”Ya, dibayar dengan butiran emas,” jelas Oktovianus, Direktur harian Radar Timika yang sudah cukup lama mengamati ”gaya hidup” itu.


Prostitusi di Timika berkembang dengan sangat cepat. Sebagai dampaknya, angka penderita HIV/AIDS makin tahun makin meningkat. Begitu cepatnya perkembangan penyakit mematikan itu, sehingga pada 2007, Timika menggantikan Merauke sebagai kota dengan angka penderita HIV/AIDS tertinggi di Papua. Pada akhir triwulan ke empat 2007, jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Papua mencapai 3.629 orang (tertinggi di Indonesia). Sebanyak 1.478 penderita ada di Kabupaten Mimika, 969 di Merauke.




Melihat grafik pertumbuhannya, terlihat jelas bahwa pertumbuhan HIV/AIDS di Mimika melaju cepat seiring dengan melambungnya harga emas di pasaran. Coba perhatikan: Pada 2002, penderitanya hanya 111 orang/tahun. Tetapi, pada tahun berikutnya bertumbuh 216 orang, 2004 bertambah 231 orang, 2005 bertumbuh 259 orang, dan 2007 bertambah jadi 277 orang per tahun. Yang agak istimewa tahun 2006, karena penambahan penderitanya hanya 227 orang. Atau 32 orang lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya.


Ini pertumbuhan yang sangat mengerikan. Padahal, upaya pencegahan sudah banyak dilakukan. Tak terkecuali oleh Freeport sendiri dengan cara membagikan kondom gratis secara rutin, membantu pembiayaan kampanye pencegahan HIV/AIDS, dan bahkan membantu pemeriksaan dini bagi mereka yang berperilaku seks menyimpang.
Namun, tahun ini Timika boleh merasa lega karena status ”juara” dalam hal HIV/AIDS sudah diambil alih Wamena. Angka penderita HIV/AIDS-nya sudah mencapai 214 orang.


Meledaknya angka penderita HIV/AIDS di Papua, khususnya Wamena, Timika, dan Merauke, sangat mengkhawatirkan dan patut disikapi dengan serius oleh pemerintah maupun masyarakat. Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Mimika menunjukkan bahwa sampai September 2008 tercatat 422 ibu rumah tangga yang positif HIV (102 di antaranya malah sudah positif AIDS). Juga tercatat di periode yang sama, ada 293 petani, 3 tokoh agama, 29 pelajar, dan 19 TNI-Polri yang terjangkit HIV/AIDS di daerah tersebut.


Meningkatnya angka HIV/AIDS di Wamena adalah fakta yang sangat menarik. Sebab, jumlah prostitusi di sini tak sebanyak di Timika dan Merauke. ”Tidak banyak, tetapi mereka itu aktif jemput bola,” kata Kurniawan Muhammad, redaktur Jawa Pos yang pernah mengamati hal itu ketika berkunjung ke Papua pada 1999.


”Bola” yang dijemput tidak hanya pendatang, tetapi juga para kepala suku yang hidupnya masih agak primitif. Sebab, mereka yang primitif itu, tutur Kurniawan, ”Tidak membayar PSK dengan uang, tapi dengan kayu gaharu.”


Mengapa para PSK itu mau dibayar dengan sepotong kayu? Karena merekalah, ternyata, yang tahu bahwa harga kayu tersebut di luar Wamena sangat mahal, bisa sampai Rp 500.000 sepotong kecil. Sedangkan orang-orang primitif itu hanya mengerti bahwa kayu tersebut punya harga yang lebih tinggi dari kayu cendana. Dengan kata lain, mereka tak tahu bahwa mereka bisa membeli empat lima PSK dengan sepotong kayu gaharu. Jadi, tak hanya seorang penjaja seks, seperti yang mereka alami selama ini. ***


batampos.co.id
Jumat, 13 Pebruari 2009

Tidak ada komentar: