Sabtu, 14 Maret 2009

Tikam Samurai (11)


Kamura yang tadi membawa si Hitam Manis kini tengah bermandi peluh dalam kamar tersebut. Si Hitam Manis juga bermandi peluh. Tubuhnya yang tak berkain tertelentang. Sebelah kakinya terjuntai kebawah tempat tidur. Dan Kamura sedang duduk di lantai di antara kaki si Hitam Manis ketika tiba – tiba pintu kamarnya dihantam hingga terbuka.

Kamura terlompat bangun. Si Hitam Manis hanya menelungkupkan tubuhnya. Dia menyangka yang masuk adalah kawan Kamura. Sebab sudah biasa Jepang – Jepang itu bergantian masuk kesebuah bilik bila temannya telah puas. Namun kini yang masuk bukanlah tentara Jepang, melainkan si Bungsu. Kamura memaki berang melihat yang masuk ternyata seorang Melayu.

” Bagero !. Masuk siapa kemari yang kamu berani, he !? ” bentaknya terbalik-balik.

Padahal yang ingin dia ucapkan adalah ”Siapa kamu yang berani masuk kemari, he” Mata si Bungsu menyipit. Mulutnya terkatup rapat. Kemudian dari sela bibirnya terdengar suara mendesis :

” Aku anak Datuk Berbangsa dari kampung Situjuh Ladang Laweh. Yang kalian bunuh dua tahun yang lalu. Dimana Saburo kini ? ”

Tanpa lebih dahulu memakai celananya. Kamura menerjang si Bungsu. Namun si Bungsu sudah siap. Dia mengelak. Tubuh Kamura yang telanjang bulat itu menerpa pintu. Kemudian terpelanting ke ruangan tengah. Si Hitam Manis terpekik. Di ruang tengah, dua orang serdadu Jepang yang tengah keluar jadi tertegun. Kemudian tertawa terbahak – bahak melihat Kamura yang telanjang bulat itu. Mereka menyangka Kamura mabuk. Namun Kamura dengan cepat menyentak samurai di pinggang seorang perwira, dan menerjang kembali masuk kekamar dimana tadi si Bungsu tegak. Tapi tubuhnya segera tercampak lagi keluar kamar. Dan kali ini dengan tubuh hampir terpotong dua pada dadanya !


Perempuan – perempuan yang ada dalam rumah petak itu pada terpekik. Empat orang sedadu Jepang segera naik menghambur keatas. Di pintu bilik si Hitam Manis itu, tegak si Bungsu dengan sebuah tongkat di tangannya. Dia tegak dengan tenang. Menatap pada enam Jepang yang kini tegak pula menatapnya. Mereka bertatapan. Dengan sudut matanya si Bungsu melihat di sebelah kirinya, agak jauh di tepi dinding, tegak Mariam di antara beberapa temannya. Perempuan itu menatap padanya dengan sinar mata penuh kebanggaan. Salah seorang dari perwira Jepang itu segera saja mencabut pistol dan menembakkannya kearah si Bungsu.

Si Bungsu menggelinding di lantai. Gerakkan Lompat Tupai ! Peluru perwira itu menerpa tempat kosong. Dua kali menggelinding dengan cepat, akhirnya ketika dia tegak samurainya bekerja. Perwira itu terpekik. Tangannya yang tadi menembakkan pistol putus hingga siku. Sebelum pekiknya berakhir, samurai di tangan si Bungsu bekerja lagi. Kepalanya belah dua ! Suasana tiba – tiba jadi sepi. Hening mencekam!. Si Bungsu tegak di depan kelima serdadu Jepang itu dengan wajah yang sedingin batu es.

” Saya si Bungsu. Saya mencari Kapten Saburo. Dimana dia ? ”

Suaranya terdengar tanpa emosi. Namun Jepang – Jepang itu terkenal sebagai orang yang tak mengenal takut sedikitpun. Dua orang segera maju dengan mempergunakan jurus – jurus karate. Namun Samurai si Bungsu segera bekerja. Kedua mereka roboh dengan leher hampir putus. Empat yang mati dalam waktu tak sampai lima menit.

” Kempetai datang !! ” Mariam berteriak.

Dan saat itulah ketiga serdadu Jepang yang masih hidup maju serentak sambil menghunus samurai mereka. Tapi yang mereka hadapi adalah si Bungsu!. Seorang lelaki yang telah bersumpah untuk takkan mati sebelum dendam keluarganya terbalas. Begitu serangan datang, dengan kecepatan yang tak terikutkan oleh mata samurainya berkelebat. Dua kali sabetan mendatar, menyebabkan dua Jepang yang ada di depan dan di kirinya rubuh dengan perut menganga. Kemudian sambil berputar setengah lingkaran dia menikamkan samurainya ke belakang. Jepang yang terakhir, mati tersate tentang dada kirinya. Sebuah Tikam Samurai! Persis seperti yang dipergunakan oleh Datuk Berbangsa di halaman rumah gadangnya dahulu. Saat dia menyentak samurainya, Jepang itupun rubuh.

” Lewat pintu belakang !” dia dengar suara perempuan berseru.

Dia segera mengenali suara itu sebagai suara Mariam. Suara sepatu Kempetai terdengar menjejak tangga di depan. Si Bingsu tegak. Kemudian menatap pada perempuan – perempuan itu. Dia segera menampak Mariam.

” Terima kasih Mariam. Saya akan balaskan dendammu.” dan Kempetai pertama muncul di pintu tegah. Si Bungsu menyelinap kebelakang. Punggungnya kelihatan oleh Kempetai itu.

” Bagero ! Berhenti !” teriaknya sambil menembakkan pistol.

Namun si Bungsu telah lenyap. Tiga Kempetai segera memburu ke belakang. Di belakang mereka disambut oleh gelapnya malam. Jauh di bawah sana, deru arus Batang Agam terdengar menderu menegakkan bulu roma. Jepang – Jepang itu pada plengak – plenguk mencari kalau – kalau lelaki yang baru saja melarikan diri itu bersembunyi di sekitar tempat tersebut. Tapi si Bungsu telah terjun dan lenyap dalam arus Batang Agam di bawah sana. Baginya berenang dan menyelam bukan lagi hal baru. Berenang di Batang Agam ini memang kegemarannya sewaktu masih muda dulu.


Keenam Kempetai yang baru datang itu tertegun tatkala menyaksikan tubuh teman mereka terhantar malang melintang di dalam rumah itu. Dari bekas luka di tubuh mereka jelas kematiannya diakibatkan senjata tajam. Seperti samurai atau pedang. Namun Kamura dan beberapa temannya ini adalah seorang pesilat Samurai yang tangguh. Siapa yang telah melumpuhkan mereka ?.

” Siapa itu orang tadi ?” tanya salah seorang kearah kerumunan perempuan – perempuan di ruangan tersebut.

”Seorang Jepang.”

Terdengar suara dari kerumunan perempuan – perempuan itu. Dan yang bicara itu adalah Mariam. Dia mencubit teman di sampingnya sebagai isyarat. Cubitan yang tak kelihatan itu segera saja dimengerti oleh temannya. Lalu perempuan muda yang dicubit itu angkat bicara.

” Ya. Nampaknya seorang tentara yang berpakaian seperti penduduk sini. Tadi sebelum terjadi perkelahian, dia kelihatan bicara akrab dengan Kamura. Tapi tak lama setelah dia menyusul masuk, terjadilah perkelahian ... ”.

Kempetai yang bertanya itu mengerutkan kening. Tadi dia memang melihat sesosok tubuh menyelinap kebelakang. Tapi tak jelas siapa orangnya. Mereka lalu menanyai perempuan – perempuan itu dengan gencar. Para perempuan itu, meskipun mereka hidup melacurkan diri namun memiliki rasa cinta Tanah Air yang luar biasa, yang barangkali tak seberapa dimiliki oleh perempuan – perempuan yang bukan pelacur. Mereka seperti sepakat, seiya sekata untuk membenarkan dan menuruti cerita bohong yang mula pertama diucapkan oleh Mariam. Dan para Kempetai serta pimpinan Jepang di Payakumbuh, tak bisa berbuat selain mempercayai hal itu. Sekurang – kurangnya buat sementara.


Sebab siapa diantara penduduk pribumi yang bisa memainkan Samurai hingga sanggup mengalahkan Kamura dan seorang perwira lainnya serta empat teman mereka? Tak mungkin ada pribumi yang bisa. Dan kalaupun bisa, takkan mungkin mempunyai keberanian untuk menyerang serdadu Jepang. Tak mungkin!. Sebab pada saat ini, gerakan – gerakan tentara Indonesia belum begitu gencar mengadakan perlawanan pada Jepang. Baru berupa tindakan – tindakan sporadis.

Jepang sendiri seperti tak punya kesempatan untuk mengusut peristiwa ini secara jelimet. Sebab dimana – mana, tidak hanya di Minangkabau, juga di seluruh Indonesia, mereka sedang sibuk membangun benteng pertahanan. Benteng – benteng pertahanan itu mereka bangun berupa lobang-lobang dari coran beton. Tersebar di seluruh kota, di tempat – tempat yang strategis, termasuk di sepanjang pantai. Musuh yang paling mereka khawatirkan untuk datang menyerang adalah Tentara Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Athur yang berkedudukan di Manila, Filipina.


Selain membuat benteng – benteng dalam bentuk lobang-lobang yang diperkukuh dengan beton cor yang tak mampu diruntuhkan dengan bom sekalipun, maka pusat suply senjata, dan benteng pertahanan secara besar – besaran mereka buat di Bukit Tinggi. Di kota ini, selain lobang-lobang pertahanan dari beton cor, mereka juga membuat terowongan yang silang siur di bawah kota. Terowongan yang sangat besar. Bisa dilalui Jeep masuk sampai jauh ke dalam. Untuk membuatnya mereka tinggal mengerahkan tentara Belanda yang tertawan yang disebut internir, dan para lelaki bangsa Indonesia. Ribuan orang dikerahkan membuat terowongan yang kelak dikenal sebagai terowongan maut.

Dia dinamai terowongan maut oleh karena seluruh pekerja yang ikut menggali terowongan itu tak satupun yang keluar hidup – hidup. Tak satupun!. Semua mati di dalam terowongan itu. Kematian mereka memang disengaja oleh Jepang demi menjaga kerahasiaan terowongan itu. Terowongan itu kabarnya melintas di atas bangunan - bangunan fital. Di samping itu juga mempunyai pintu tembus ke tempat – tempat strategis di dalam maupun jauh di luar kota.


Menurut sementara cerita yang berasal dari tawanan yang tak sempat dibunuh, terowongan itu konon juga dibangun dari perut di bawah kota Bukittinggi tembus ke lapangan udara Gadut. Kemudian ke Balingka dan ke Anak Air. Terowongan sepanjang itu itu diperlukan Jepang untuk dua tujuan. Pertama, tempat menimbun berbagai macam logistik dan pertahanan Jepang di Sumatera untuk melawan tentara Sekutu. Setelah terowongan itu siap, pemusatan dan kedatangan persenjataan dari Sumatera Utara tak lagi melewati jalan biasa. Sampai di Gadut, perlengkapan itu lenyap begitu saja.
Menurut cerita dari sana langsung masuk terowongan dan dipusatkan disuatu tempat di perut bumi di bawah kota Bukittinggi.


Dalam rencana strategisnya, jika Sekutu datang menyerang mereka akan bersembunyi di terowongan itu. Pada waktu tertentu mengadakan serangan mendadak ke kota. Di terowongan itu mereka mempunyai perbekalan baik makanan maupun persenjataan yang bisa menghidupi satu batalyon pasukan dengan kekuatan 1.000 orang selama setahun!

Suatu penimbunan dan pemusatan suply yang tak tanggung – tanggung dalam sejarah Kemiliteran. Kedua, dalam keadaan sangat genting mereka bisa mempergunakan lapangan terbang gadut untuk melarikan diri dengan pesawat udara. Saat terowongan itu dibangun, pimpinan tertinggi balatentara Jepang di pulau Sumatera dipegang oleh Tei Sha (Kolonel) Fujiyama. Dia memilih menempatkan pusat komandonya di bekas kantor tentara Belanda beberapa puluh meter dari mulut terowongan yang sedang di bangun di Panorama. Pusat komando Fujiyama ini kelak dijadikan Museum ABRI di depan Tugu 17 Agustus di Panorama. Pintu terowongan juga dibangun di belakang kantornya. Dari sana, lewat terowongan yang berbelit dia bisa mencapai beberapa tempat di kota Bukittinggi. Seperti ke Jam Gadang, Benteng atau Kebun Binatang.

---o0o---


Malam itu terang bulan. Benar – benar bulan purnama. Kota Payakumbuh kelihatan ramai oleh orang – orang yang keluar. Tapi di salah satu sudut kota, di rumah seorang Cina di kamar belakang, kelihatan berkumpul tiga orang lelaki. Mereka duduk bersila di atas tikar rotan. Udara dalam ruangan dipenuhi oleh bau sake dan candu. Diantara keenam lelaki itu ada tiga perempuan. Satu keturunan Cina, yang dua lagi peranakan India. Mereka duduk sambil bersandar atau dipeluk oleh Jepang yang duduk di tikar rotan itu.

Seorang Cina bertubuh gemuk berkepala botak mendatangi kelompok jantan dan betina itu. Dia datang dengan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal. Saat dia duduk segera saja Jepang – Jepang itu duduk mengitarinya. Uang dikeluarkan, dan mereka mulai main dadu. Cina gemuk itu adalah pemilik rumah di mana kini mereka berada.

Kini dia bertindak sebagai bandar dalam judi dadu yang diadakan tersebut. Rumah Cina ini dikenal penduduk sebagai rumah kuning. Yaitu rumah pelacuran terselubung. Yang datang kemari khusus para perwira saja. Sebab di sini juga disediakan perempuan – perempuan pilihan. Salah satu dari perempuan itu adalah anak gadis Cina botak itu sendiri.


Anak gadisnya memang terkenal cantik dan bertubuh padat. Setiap perwira bisa memakainya dengan bayaran yang tak tanggung – tanggung tingginya. Selain tempat lacur dan tempat judi, pejuang – pejuang Indonesia juga sudah lama mencurigai rumah itu sebagai sebuah pusat mata-mata untuk pihak Jepang. Soalnya Cina itu sudah berdiam sejak lama di rumah tersebut. Ketika zaman penjajahan Belanda, dia sudah menjadi semacam kepercayaan orang Belanda pula. Kini ketika Jepang berkuasa, dia juga menjadi kepercayaan Jepang.

Pejuang – pejuang Indonesia sudah lama mengintai rumah tersebut. Namun kendati memiliki beberapa bukti, mereka tak dapat melakukan apapun. Apalagi kini dia mendapat perlindungan Jepang. Maka usaha pejuang – pejuang Indonesia untuk menangkap Cina ini tak pernah berhasil. Padahal beberapa orang pejuang yang tertangkap, diantaranya anak buah Mayor M yang berkedudukan di Piobang, disebabkan oleh Cina gemuk ini. Dia menyebar intelnya diantara penduduk pribumi dan perempuan – perempuan lacur. Bahkan tertangkapnya beberapa pejuang yang mencuri senjata di Kubu Gadang empat bulan yang lalu juga atas petunjuk Cina ini.

” Sudah datang dia ?” seorang perwira Jepang yang berpangkat Lettu (Chu – I), bertanya sambil menambah uang taruhannya.

” Belum, mungkin sebentar lagi”, jawab Babah gemuk tersebut.


Mereka meneruskan main dadu. Tiba – tiba Chu – I itu tegak. Menatap pada ketiga perempuan yang ada dalam ruangan itu.

” Hei, mana Amoy ..?” tanyanya.

Ketiga perempuan itu menatap pada si babah gepuk yang sedang duduk main dadu. Si gepuk main terus, meraih uang di tikar yang dimenanginya.


”Mana Amoy gepuk?” tanya si Chu-I

Si gepuk memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Namun ketika Jepang itu akan tegak, si gepuk memberi isyarat meminta uang terlebih dahulu dengan menampungkan tangannya. Chu I tersebut merogoh kantong dan menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian melangkah kekamar yang dimaksud si babah gepuk.

Ketika dia baru sampai di depan pintu, pintu kamar itu terbuka, seorang Jepang yang juga berpangkat letnan keluar dengan menyeka peluh di lehernya. Mereka bertegur sapa sepatah dua. Sampai di dalam Jepang itu melihat Amoy anak babah gemuk itu sedang merapikan tempat tidur. Posisinya yang sedang membungkuk membelakangi pintu dengan handuk melilit tubuh, menampakkan pangkal pahanya dari belakang. Jantung Jepang itu berdebar kencang. Seperti orang kesurupan dia menyeruduk ke gadis bertubuh montok itu.



Bersambung

Tidak ada komentar: