Minggu, 15 Februari 2009

Oleh-oleh dari Perjalanan ke Papua

Laporan Nany Wijaya, JPNN




Tabrak Babi, Ganti Rugi Sesuai Jumlah Puting


Bukan hanya memotret suku Dani di Kurulu yang istimewa dan unik. Berkeliling Wamena dan desa-desa di sekitarnya juga merupakan pengalaman menarik yang tak terlupakan. Paling tidak, itulah yang dialami wartawan JPNN, Nany Wijaya pada hari keduanya di ibu kota Lembah Baliem itu.



Kalau ada yang paling saya tunggu selama dua hari di Lembah Baliem, itu adalah matahari. Nikmatnya tinggal di kaki Pegunungan Jayawijaya ini adalah saat mentari mulai meninggi. Sebab, ketika itu cuaca menjadi hangat, tapi tidak terlalu panas. Sedangkan saat mentari tenggelam, apalagi tengah malam, hujan pula, dinginnya luar biasa. Karena itu, tidur pun harus pakai kaus kaki dan tutup kepala. Mirip tidur di musim dingin.


Karena cuaca sedang bersahabat dan tak mau kehilangan momentum, saya yang hari itu ditemani Dirut Cendarawasih Pos Suyoto dan korespondennya, Djoko, serta sopir sewaan asal Toraja, Yavet, sudah meninggalkan hotel pada pukul 09.30 waktu setempat.


Di hari kedua itu kami tidak punya sasaran khusus seperti pada hari pertama. Kami hanya berkeliling kota. Menikmati pemandangan di pusat Kota Wamena. Memotret orang-orang yang berlalu lalang sambil menggendong anak di bahu atau yang membawa noken (tas rajutan khas Papua).


Cara penduduk asli Papua membawa noken, menurut saya, sangat unik. Mereka tidak menggantungkan tali di bahu, melainkan di ubun-ubun. Padahal, noken itu bukan sekadar hiasan atau untuk menyimpan dompet, karena orang sana tidak biasa menyimpan uangnya di dompet, apalagi kemudian menaruhnya di noken.


Tas rajutan yang warnanya khas merah, putih, kuning, hijau, biru dan hitam itu juga berfungsi untuk membawa barang dagangan. Mulai sayur, buah sampai beras, ikan dan barang-barang dagangan, serta kebutuhan hidup lainnya.


Apa pun isi noken itu, tak terkecuali yang berat, cara membawanya selalu dengan dilingkarkan di kepala. Sehingga bisa dibayangkan, betapa kuat leher mereka. Seorang dokter ahli tulang pernah mengatakan kepada saya, orang-orang yang suka membawa beban di kepala, lehernya pasti kuat dan tidak akan mengalami kekeroposan.


Di Wamena, sepertinya kepala juga berfungsi sebagai bahu, untuk membawa beban. Dengand demikian, kayu pun mereka bawa dengan cara menempatkannya di kepala. Padahal, kayu yang mereka bawa tidak sedikit, karena memang untuk dijual sebagai kayu bakar, bukan untuk dapur mereka sendiri.


Cara orang Wamena berdagang juga unik. Barang dagangan mereka tidak selalu banyak. Terkadang hanya beberapa genggam. Padahal, untuk membawa barang-barang itu, mereka harus berjalan kaki berkilo-kilometer, tanpa alas kaki. Tetapi, ada juga yang membawa cukup banyak barang dagangan.


Apakah yang membawa banyak barang dagangan itu berarti lebih modern atau lebih pintar, sama sekali tidak. Yang menentukan banyak sedikitnya barang dagangan yang mereka bawa ke pasar adalah berapa banyak yang bisa mereka petik atau mereka miliki.


Cara menjualnya pun sangat khusus. Mereka tidak menggunakan meja-meja seperti yang kita lihat di pasar-pasar tradisional di Jawa. Pedagang di sana hanya meletakkan dagangan di tanah. Kemudian mereka duduk bersimpuh atau selonjor di sampingnya.


Untuk melindungi kepala dari panas dan hujan, biasanya mereka memasang payung. Payung merupakan salah satu barang favorit. Semula heran juga saya melihat seseorang yang berkulit sangat gelap, berjalan sambil membawa payung yang terbuka. Padahal, kakinya tanpa alas. Lantas yang dipayungi apa?


Bagi saya, pemandangan seperti itu tentu menarik untuk dipotret. Dan, saya tidak punya kesulitan untuk memotret mereka. Tentu saja kalau saya membidiknya dari jauh, dan yang dibidik tidak menyadari. Tetapi, kalau tahu sedang dipotret, mereka pasti minta bayaran. Minimal Rp 5.000. Sedihnya, setiap melihat orang membawa kamera, mereka pasti berpose. Tentu dengan harapan bisa meminta bayaran.


Kayaknya angka Rp 5.000 itu standar harga untuk sekali pemotretan. Jadi, ke mana pun saya memotret, pasti harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiap orang, sekali jepret.







Mengapa saya tidak mencoba kabur saja? Toh saya membawa mobil sewaan. Ternyata ini bukan ide yang baik karena bisa ribut dan kita bisa mendapat masalah. Tak peduli Anda turis atau bukan. Wajah Anda mirip mereka atau tidak. Kalau memotret, ya harus bayar.


Tradisi minta bayaran setiap kali dipotret itu ada di mana-mana. Jadi, tidak hanya di Kurulu, kampung tradisional Suku Dani. Sampai di desa-desa terpencil pun, mereka minta bayaran ketika dipotret. Terutama yang masih mengenakan koteka atau yang cara berpakaiannya masih sangat sederhana.


Mereka yang sudah mengerti berdagang atau mengenal kehidupan modern, tak terlalu mempermasalahkan. Sesekali saja mereka minta bayaran. Tetapi, kalau Anda membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih, pasti mereka tak lagi mempersoalkan itu. Nah, untuk mereka yang masih berkoteka, biasanya tak mau dibayar Rp 5.000. Mereka akan minta Rp 50.000 atau sedikitnya Rp 20.000.


Banyak sekali objek foto yang menarik di Wamena. Dan itu tidak hanya orang. Babi pun bisa menjadi objek foto yang cantik di sana. Babi memang binatang yang sangat berharga di Wamena. Bukan cuma dari nilai rupiahnya yang bisa Rp 4 juta sampai 5 juta per ekor, tetapi juga kegunaan dan nilai psikologisnya.


Kegunaan babi bukan cuma untuk dimakan. Babi juga untuk melindungi tubuh mereka dari serangan nyamuk Papua yang terkenal keganasannya. Caranya, dengan mengoleskan minyak babi ke sekujur tubuh mereka.


Saking berharganya, orang harus hati-hati berkendara jangan sampai menabrak babi. Kalau sampai menabrak mati babi, bisa dipastikan sopir itu akan miskin. Lebih celaka lagi kalau yang ditabrak adalah babi betina. Makin sengsara kalau babi itu sudah punya anak. Sebab, dia harus membayar ganti rugi Rp 8 juta untuk si babi. Ini harga mati, tak bisa ditawar. Polisi pun tak bisa membantu.


Kalau babi itu betina, harga tersebut masih harus ditambah dengan Rp 1 juta per puting susunya. Padahal, babi di Wamena bisa punya 10-20 puting susu, sesuai jumlah anak yang pernah dilahirkan. Kalau putingnya 20, ya berarti tambah Rp 20 juta.


Kalau si babi dalam keadaan bunting, lebih parah lagi. Selain membayar tambahan berdasarkan jumlah putingnya, si sopir harus membayar lagi untuk janin di rahim si babi. Untuk menentukan ini, babi akan dibedah dan janinnya dihitung. Satu janin dihargai Rp 1 juta. Bayangkan kalau di perut itu ada 10 janin.


Begitu berharganya babi di sana, begitu tingginya rasa sayang mereka terhadap binatang yang satu itu. Tetapi, mengapa mereka tega memanahnya hidup-hidup pada saat ada pesta atau festival budaya? Mungkin itulah uniknya budaya asli Papua. ***

Rabu, 11 Pebruari 2009
batampos.co.id

Tidak ada komentar: