Selasa, 24 Februari 2009

Riwayat Cincin di Jari Manismu

.




Padang — Sepasang anak muda memesan cincin kawin di sebuah toko emas di Padang. “Cinta di jari manismu, kasih,” adalah sejarah yang panjang. Bermula dari rimba belantara atau di dasar sungai. Ameh baurai, namanya, dicari dengan tekun oleh penduduk desa dengan cara berendam di dalam sungai sehari penuh. Lalu, kemilau emas itu menjadi cinta yang melingkar di jari manis, atau teryaguy manja di leher nan jenjang.

Begitulah, mentari pagi menyinari Sungai Batang Hari. Menghadirkan semburat rona merah keemasan. Semerah bibir gadis-gadis Batang Hari yang Kamis pagi (12/2) itu, terlihat ceria menuruni tepian sungai.

Di tangan kiri masing-masingnya, terlihat sebuah tudung bambu dan sebuah ember plastik. Sementara di tangan satunya lagi, tergenggam sebuah kayu bundar mirip tudung bambu, diameternya sekitar 70 cm. Masyarakat Dharmasraya menyebutnya, ‘jae’. Merupakan alat tradisional yang digunakan untuk mendulang emas.

Satu persatu di antara mereka mulai masuk ke Batang Hari. Berendam. Tapi tidak untuk mandi. Melainkan merajut nasib dengan mendulang emas. Melanjutkan cerita mereka hari kemarin, yang terputus karena tenggelamnya sang surya.

Kesibukan terlihat mewarnai gadis-gadis itu yang berdiri berjejer di pinggiran Batang Hari. Sebagian terlihat sudah mulai mengeruk pasir dan memasukannya ke dalam jae. Sebagian lagi, masih membenahi peralatannya dan mencari-cari lokasi yang tepat untuk mendulang.
Kemudian didulang untuk memisahkan pasir dengan ‘kalam’ (butiran pasir halus berwarna hitam yang bercampur dengan butir emas).

Sesekali ciloteh dan canda mereka, terdengar begitu renyah. Mungkin itu cerita tentang mereka, gadis pendulang emas di Batang Hari. Atau cerita tentang nasib peruntungan mereka hari itu. Namun apapun cerita mereka, itu merupakan cerita gadis-gadis Batang Hari di kala pagi. Cerita yang akan mengawali perjalanan panjang Ameh baurai di tepian Batang Hari, sampai nantinya melingkar indah di jari manis sang kekasih.


Satu Buncih, Rp28 ribu
Di Sumatra Barat, memang tidak ada emas bertumpuk seperti yang di tambang Free Port di Tembaga Pura, Irian Jaya Barat. Namun tempat orang mencari emas, ada di Sumbar. Itulah, di sepanjang aliran Sungai Batang Hari, di Bonjol, di Mangani dan lainnya. Untuk Batang Hari, membentang mulai dari Kabupaten Solok Selatan sampai berujung di daerah Tanjung Harapan, Kabupaten Dharmasraya, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi. Di sepanjang aliran itu, tidak berbilang banyaknya orang menambang emas. Baik dilakukan secara tradisional maupun memakai peralatan moderen.

Setiap hari, cukup banyak emas yang dihasilkan di aliran sungai tersebut. Namun berapa jumlah pastinya setiap hari, belum diketahui. Karena belum ada riset yang menghitungnya. Selain itu, mereka mengolahnya secara tradisional. Sehingga sulit diperoleh data yang pasti. Kalaupun ada yang mengolahnya dengan mesin modern, tidak tergolong penambangan resmi alias PETI (Penambangan Emas Tanpa Izin).

Namun dari penelusuran Tim Ekspedisi Singgalang I di Dharmasraya beberapa waktu lalu, diperkirakan dalam satu hari, emas baurai yang dihasilkan Batang Hari mencapai lebih dari satu kilogram. Itu berdasarkan keterangan para pendulang emas di daerah Siguntur, Siluluak dan Silago kepada tim.

“Bagi kami pendulang emas, dalam satu hari hanya memperoleh rata-rata dua buncih emas baurai (10 buncih emas = 1 gr emas). Di sepanjang Aliran Batang Hari, mulai dari Silago sampai Siluluak, Padang Laweh sampai ke daerah Tanjung Harapan, diperkirakan lebih dari seribu pendulang. Sedangkan untuk penambang emas dengan mesin, dalam satu hari bisa memperoleh 10 - 15 kali lipatnya. Jumlahnya juga sudah ribuan,” kata Iwat, Kamis (12/2) di Siguntur, Dharmasraya.

Berdasarkan itu, anggap saja jumlahnya seribu pendulang. Kalau dalam satu hari rata-rata memperoleh 2 buncih emas, maka jumlah mencapai 2.000 buncih. Atau setara dengan 200 gram emas baurai. Ditambah dengan hasil dari penambang, dengan jumlah dianggap sama, 1.000 penambang, hasilnya sekitar 2.000 gram emas baurai. Jadi satu hari, sekitar dua kilogram emas yang keluar dari Batang Hari. Satu bulan sekitar 60 kilogram emas.

Suatu hasil yang luar biasa. Sebanyak 60 kg emas tersebut setara dengan 2.400 emas (1 emas = 2,5 gr). Jika dikalikan dengan harga emas saat ini, yaitu Rp940 ribu, maka hasilnya menjadi lebih Rp2 milyar.

Itu jika dikalikan dengan harga emas standar yang beredar saat ini di pasaran. Namun di Dharmasraya, satu orang pendulang yang berendam satu hari baneneang di Sungai Batang Hari, hanya berpenghasilan sekitar Rp50 ribu per hari.

“Satu buncih emas baurai, di sini di hargai Rp28 ribu,” kata pendulang di daerah Pulai, Nelli. Artinya, jika satu hari mereka mendapat dua buncih emas baurai, pulangnya hanya membawa Rp56 ribu untuk makan sekeluarga.

Itu terjadi karena para pendulang tradisional tersebut terikat semacam kontrak tidak resmi dengan para pembeli emas di sana. Masyarakat Dharmasraya menyebutnya, cukong emas. Para cukong emas ini, telah ‘mengikat’ para pendulang dengan terlebih dahulu meminjamkan uang kepada mereka. Pinjaman itu, diberikan dengan patokan perolehan emas pendulang selama seminggu. Harganya, tentu saja disesuaikan dengan patokan harga sang cukong.

Dengan kondisi itu, para pendulang emas di sepanjang tepian Batang Hari tetap kurang sejahtera. Kehidupan mereka, rata-rata masih di bawah garis kemiskinan. Penuturan Iwat maupun Nelli, memperlihatkan, meskipun Batang Hari memberikan benda berharga yang paling dicari wanita seluruh dunia, namun untuk ‘hidup’ mereka tetap harus kalimpasiangan. Iwat dan Nelli, mengaku tidak bisa terlalu mengandalkan mata pencarian mereka dari mendulang. Terkadang terpaksa harus menjadi buruh tani atau pekerjaan lain yang diupahkan kepada mereka.


Dari Batang Hari ke Guguak Tabek Sarojo
Cerita di Batang Hari masih seputar ameh baurai. Cerita tentang emas yang masih dalam bentuk butiran halus sebesar pasir. Untuk bisa menjadi lebih berharga, harus dibentuk dulu. Baik berupa emas batangan maupun perhiasan seperti gelang, cincin, kalung dan sebagainya. Di Sumatra Barat, yang terkenal dalam mengerjakan hal itu, adalah masyarakat Guguak Randah, Guguak Tinggi di Guguak Tabek Sarojo, Kabupaten Agam.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Emas dan Permata Indonesia, Sumbar, H. Guspardi Gaus, semenjak dulu, jauh sebelum kemerdekaan RI, daerah Guguak Tabek Sarojo, khususnya di dua jorong, Guguak Randah dan Guguak Tinggi, masyarakatnya berprofesi sebagai pandai emas. Itu berlangsung sampai sekarang.

Hasil kerja pandai emas di daerah itu, cukup terkenal. Di tangan mereka lah, emas baurai disulap menjadi perhiasan indah.

Sejarah emas di Sumbar sendiri, juga tidak terlepas dari kemahiran masyarakat Guguak Tabek Sarojo tersebut. Dikatakan Guspardi, dimulai dengan kiprah salah seorang di antaranya, yaitu Dt Batuah yang merintis perdagangan emas di Sumbar. Berikutnya baru dikembangkan beberapa anak didik Dt Batuah. Seperti H. Kamili, Labai Malano dan lainnya. Sampai sekarang, keturunan dari nama-nama tersebut tetap eksis sebagai pedagang dan pengusaha emas di Sumbar.

Sementara, harga emas di Sumbar sejak satu minggu belakangan terus naik. Emas murni (batangan) dijual antara Rp920 ribu hingga Rp935/emas. Sedangkan emas perhiasan siap pakai dari Rp925 ribu/emas untuk perhiasan dengan model biasa dan Rp940 ribu/emas untuk perhiasan dengan model rumit dan berpermata.

Selama satu minggu itu pula, hingga kemarin toko mas yang ada di Pasar Raya Padang banyak didatangi warga yang menjual perhiasannya. Sedangkan yang membeli sangat sedikit, perbandingannya 1 : 9. Satu persen yang membeli dan sembilan persen yang jual. Memasuki minggu kedua warga kota terus memburu toko-toko mas, meski begitu emas yang dijual jumlahnya kian berkurang. Sedangkan toko-toko perhiasan itu makin banyak menampung emas yang akan dilebur menjadi emas batangan. Emas, dengan kadar 70 persen dijual Rp310 ribu/gram dan 75 persen dijual Rp350 ribu/gram. 308/107/307/203/419


hariansinggalang.co.id
selasa, 24 februari 2009

Tidak ada komentar: