Kamis, 19 Februari 2009

Stasiun Tua Nareh dan Jejak Tali Kasih




PARIAMAN - Stasiun Nareh, Padang Pariaman, nyaris dibalut belukar. Relnya membentang ditutupi gulma. Di sini, pada masanya, pernah hadir kegagahan. Roda ekonomi berputar, cinta kasih pernah dipautkan. Lalu, kemudian, Mak Itam tak pernah datang lagi. Sepi. Senyap. Sejarah kecil, terkadang memang senyap dan dilupakan.
Tak dapat dipungkiri, kalau pada masa bagolak dulu, kereta api adalah urat nadi transportasi utama di Sumbar. Waktu itu kereta api tak hanya alat transportasi penumpang, tapi juga urat nadi pengangkutan perdagangan utama.

Saking pentingnya alat transportasi kereta api waktu itu, jalur dan stasiunnya membelah dan terbentang di mana-mana pada sejumlah daerah dalam wilayah Sumbar. Kalau dihitung mungkin panjang jalur tersebut mencapai ribuan kilometer, dengan jumlah stasiun ratusan banyaknya.

Sebagian dari sisa sejarah kejayaan perkeretaapian Sumbar itu, hingga sekarang masih bisa dilihat dan disaksikan, walau kondisinya sangat memprihatinkan. Kini sebagian dari jalur dan stasiun itu mungkin bisa membanggakan diri. Sebab mereka akan kembali difungsikan, meski hanya untuk prasarana pariwisata.

Meski lengkingan keras klakson dan gemuruh bunyi gerbongnya tak lagi terdengar membelah kesunyian dan kesenyapan daerah pedalaman Sumbar, tapi cerita kejayaan kereta api itu, hingga sekarang masih melekat di benak masyarakat Sumbar, yang hidup pada zamannya.

Dari sekian banyak stasiun kereta api yang ada dan masih tersisa saat ini, salah satunya adalah stasiun kereta api Nareh atau dikenal ‘Stasiun Nareh’, yang terletak di wilayah Desa Padang Biriak-Biriak, Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman..

Stasiun ini dari ceritanya adalah stasiun kebanggaan rang Piaman dulunya. Banyak cerita yang dipendam bangunan tua stasiun kereta api Nareh ini. Tak hanya sebagai pusat perdagangan dan prasarana transportasi penumpang, stasiun ini juga merupakan ajang dan lokasi pertemuan untuk pertalian kasih pasangan muda, kala itu.

Kini, sisa-sisa kejayaan stasiun tua itu masih berdiri kokoh. Di areal stasiun masih berdiri bangunan yang merupakan ruang tunggu serta ruang bongkar muat penumpang dan barang. Empat lajur jalur kereta api juga masih terlihat, meski di sana sini terlihat ditutup dengan beton semen serta sebagian arealnya juga ada yang sudah disulap menjadi lahan pertanian.

Syafruddin, 70, salah seorang warga Nareh kepada Singgalang, Rabu (18/2) mengungkapkan, dulu pada waktu jayanya, stasiun ini merupakan lahan ekonomi yang sangat menjanjikan bagi masyarakat sekitar. “Waktu itu, rata-rata warga sekitar bekerja di stasiun ini,” katanya.

Dikisahkannya, dulu di lokasi stasiun, banyak berdiri bangunan gudang penampung hasil pertanian, sebelum dikirim ke Pelabuhan Teluk Bayur atau ke daerah bagian utara Sumbar, seperti Lubuk Basung dan Pasaman. “Bahkan ada sebuah kilang produksi minyak kelapa yang beroperasi tak jauh dari areal stasiun tersebut,” kata Syafrudin.

Dari aktivitasnya, ratusan orang terserap bisa bekerja dan bisa menggantungkan hidup dari hiruk pikuknya aktivitas stasiun kereta api Nareh. Ada yang berprofesi sebagai buruh angkut, buruh bongkar muat dan sebagian ada yang bekerja sebagai pedagang.

Lebih jauh dikisahkan Syafrudin, pada waktu itu, mungkin tak ada orang yang tak kenal dengan nama daerah Nareh. Apalagi oleh masyarakat Piaman, yang berprofesi sebagai petani. Daerah ini dikenal, karena di sinilah pusat perdagangan dan jasa. Di sinilah dulu hasil pertanian Piaman diperjualbelikan.

Dari daerah sentra penghasil pertanian di pedalaman wilayah Kabupaten Padang Pariaman waktu itu, hasil pertanian dibawa menggunakan pedati ke stasiun Nareh. Bahkan tak sedikit pula yang juga memanfaatkan transportasi air sungai Batang Nareh hingga sampai di stasiun itu.

Dari stasiun tua Nareh ini, komoditi hasil pertanian masyarakat Piaman dan sekitarnya waktu itu dibawa dan diangkut dengan kereta api ke daerah lain. Bahkan ke luar negeri melalui Pelabuhan Teluk Bayur, yang begitu terkenal saat itu. Begitu juga dengan hasil pertanian dari daerah lain, di stasiun inilah diturunkan dan kemudian dijual ke sejumlah pasar tradisional di Padang Pariaman. “Intinya, stasiun tua Nareh adalah pusat lalu lintas hasil pertanian terbesar di Padang Pariaman,” kata Syafrudin.

Stasiun kereta api Nareh di Desa Biriak-biriak, dulunya menghubungkan jalur kereta api Kabupaten Pasaman dan Pelabuhan Teluk Bayur. Ratusan orang setiap hari singgah dan lalu lalang melalui stasiun ini. Pokoknya, kata Syafrudin, saat itu uang sangat mudah berputar di daerah itu.

Sejak beberapa dekade belakangan, seiring tak lagi difungsikannya kereta api sebagai alat transportasi umum oleh pemerintah, secara otomatis dampaknya dirasakan masyarakat Nareh. Berhentinya aktivitas stasiun kereta api, secara otomatis juga menghentikan usaha ekonomi mereka.

Tak berfungsinya lagi stasiun Nareh, membuat daerah sekitarnya seolah-olah juga ikut redup. Ratusan orang yang dulu terbiasa menggantungkan hidup dari aktivitas stasiun, akhirnya terpaksa banting stir mencari usaha lain. Yang berprofesi sebagai pedagang, mereka sudah mencari lokasi pasar baru untuk lahan berdagangnya.

Kini yang bersisa di stasiun tua itu hanya bangunan tua yang gigi kejayaannya berserakan di sana-sini. Empat lajur yang dulu menjadi jalur menaikkan barang dan penumpang, kini telah merimba dan sebagian ada yang dimanfaatkan untuk kebun oleh warga sekitar.

Namun, kejayaan dan jasa-jasa stasiun tua tersebut tak akan pernah pupus dan pudar dari hati sanubari masyarakat Piaman, khususnya masyarakat Nareh. Cerita itu akan tetap kokoh, sekokoh rel besi bajanya yang membentang panjang, yang tak pernah lekang dimakan panas dan tak pernah lapuk dimakan perjalanan waktu.

Stasiun tua Nareh ini, adalah cerita hidup sekaligus sumber penghidupan. Dari aktivitasnya, ratusan atau bahkan ribuan anak Piaman pernah dibesarkan dan dihidupi orang tuanya. ***



hariansinggalang.co.id

Tidak ada komentar: