Selasa, 17 Februari 2009

Yang Tersisa Dari Perjalanan Ke Papua (3-habis)

Laporan Nany Wijaya,JPNN Wamena


Disebut Amerikanya Papua, SIM Keluaran Freeport Sendiri


Berkunjung ke Timika tanpa mampir di Kuala Kencana dan Tembagapura sama saja bohong. Sebab, inti Timika ya dua kota itu. Untuk menyempurnakan kunjungan itu, naik ke Grasberg, tambang emas terbesar dunia milik Freeport Indonesia. Sayang, untuk bisa ke tempat itu harus punya akses khusus. Inilah laporan wartawan JPNN yang berhasil mengunjungi lokasi istimewa itu.


KESAN bahwa Timika kotanya Freeport terasa sekali sejak langkah pertama memasuki kota itu. Di pintu utama Bandara Mozes Kilangan, Timika, identitas itu sudah ditunjukkan dengan adanya ban bekas truk pengangkut hasil tambang dan buldoser di dekat gerbang masuk kawasan itu.


Bukan hanya itu, hotel terbaik di kota tersebut juga milik Freeport sekarang. Namanya Hotel Rimba Papua. Hotel yang bangunannya didominasi oleh kayu –mulai pilar hingga lantainya– itu dulu bernama Sheraton Timika. Tetapi, sejak beberapa tahun terakhir sudah diambil alih Freeport dan namanya pun diubah.


Saya hanya merencanakan tinggal di Timika selama dua hari. Mau saya, dalam kurun waktu yang relatif pendek itu, saya bisa mengeksplorasi Timika dan Freeport-nya. Sungguh keinginan yang ambisius. Padahal saya tak punya gambaran apa-apa tentang kota tambang yang dikenal sebagai kota paling maju di Papua itu.


Risiko dari ambisi saya itu adalah saya tak punya waktu untuk beristirahat. Begitu tiba di hotel, sarapan sebentar, check in, langsung jalan. Sasaran pertama saya adalah melihat daerah reklamasi, daerah tailing yang banyak dipersoalkan aktivis lingkungan hidup. Tailing adalah buangan sisa pengolahan hasil tambang.


Agak terkejut saya ketika berkunjung ke situ. Ternyata daerah buangan limbah tambang tersebut sudah diubah menjadi perkebunan melon, lombok, tomat, sagu, dan hutan alam. Hutan alam adalah hutan yang tumbuh secara alami.
Di areal yang sama, saya melihat kolam-kolam ikan, lahan sagu, dan –ini yang paling menarik– lokasi pembiakan kupu-kupu. Ada puluhan jenis kupu-kupu yang dibiakkan di tanah buangan limbah itu. Begitu banyaknya kupu di lokasi itu mengingatkan saya pada taman kupu-kupu yang berada di Pulau Sentosa, Singapura.


Dari situ, di siang yang sangat panas itu, saya dengan ditemani Suyoto (Dirut Cenderawasih Pos), Oktovianus (direktur Radar Timika), dan Teuku Mufizar Mahmud (media relation officer Freeport di Timika) langsung melaju ke Kuala Kencana. Kota mandiri yang hanya dihuni oleh staf dan karyawan Freeport ini dikenal sebagai Amerika-nya Papua.


Dibandingkan dengan semua kota di republik ini, Kuala Kencana termasuk yang paling modern, indah, dan hijau. Sepanjang jalan menuju ke pusat kota itu hanya tampak pemandangan pohon-pohon besar yang rimbun serta jalan raya yang mulus dan bersih. Tak ada deretan rumah yang terlihat di pinggir jalan. Padahal, desa tersebut berpenduduk lebih dari 7.000 jiwa itu. Kok bisa?


Pasti bisa karena rumah-rumah yang semuanya dihuni karyawan dan staf Freeport itu dibangun di balik pepohonan besar yang mengisi sepanjang jalan menuju ke pusat kota.


Setibanya di pusat kota itu –yang ditandai dengan alun-alun besar yang sangat hijau– kesan modern terlihat. Di sekitar alun-alun itulah semua fasilitas pendukung kehidupan warga dibangun. Mulai supermarket, restoran, mini mall, sekolah, bank, kantor pos, gedung bioskop, hingga klinik kesehatan.


Dari cara menatanya yang tak seperti umumnya kota di sini membuat kita tak menyadari kalau masih berada di bumi Indonesia. Karena itu, tak mengherankan kalau desa modern ini disebut banyak orang dengan istilah Amerika-nya Papua.
Sebutan itu tidak berlebihan sama sekali. Sebab, desa ini juga memiliki aturan lalu lintas yang tidak sama dengan daerah mana pun di Papua, kecuali Tembagapura tentunya. Aturan lalu lintas jauh lebih ketat daripada daerah mana pun di negeri ini. Di sana ada polisi lalu lintas khusus yang selalu berpatroli untuk memantau mobil mana yang berjalan melebihi kecepatan, kendaraan mana yang berjalan tanpa menyalakan lampu, dan pengemudi mana yang mengemudi sambil merokok. Pengemudi dan penumpang yang tidak mengenakan sabuk pengaman juga akan kena tilang. Bagaimana si polisi tahu itu?


Sangat tidak sulit karena semua mobil di Kuala Kencana dan Tembagapura tak boleh berkaca agak gelap. Bahkan, kaca depan kotor pun akan kena tilang. Tilang di kawasan ini tentu juga tidak sama dengan di derah lain, apalagi bisa dinego dendanya. Yang ditilang akan menerima surat peringatan. Jika terulang, SIM (surat izin mengemudi)-nya akan dicabut.


Jangan heran kalau mereka punya kewenangan mencabut SIM pengemudi di sana. Sebab, mereka jugalah yang mengeluarkan SIM. Dengan kata lain, SIM mereka bukan keluaran polantas Polri, tapi oleh Freeport. Bahkan, pengemudi yang bukan karyawan perusahaan tersebut dan tidak menggunakan mobil yang terdaftar di kawasan itu tak boleh masuk. Ujian untuk mendapatkan SIM juga dilakukan sendiri oleh Freeport. Dan, ujian itu harus diulang, setiap memperpanjang SIM. ***



batampos.co.id
Sabtu, 14 Pebruari 2009

Tidak ada komentar: