Minggu, 08 Maret 2009

Sipit di Mata Dekat di Hati




Awalnya mereka ditolak keluarganya. Orang Tionghoa, pantang menikah dengan pria atau perempuan suku lain. Tapi, seiring berjalannya waktu, larangan itu sudah kendur.



ABDUL HAMID, Batam

Memegang sepiring talas rebus, perempuan itu bertandang ke rumah tetangganya. Tubuhnya padat berisi. Berkulit kuning dan bermata sipit. Beda dengan para tetangganya di Lubuksemut, Karimun, yang berkulit sawo matang.


Dia bernama Kho Siu Moi alias Tini, perempuan bermarga Tionghoa, berumur 36 tahun. Setelah sempat bolak-balik Batam-Karimun, sejak sepuluh tahun yang lalu ia menetap di Karimun bersama suaminya Eriyanto, 52, seorang pria kelahiran Banyumas yang besar di bumi berazam, Karimun.


Eriyanto pulalah yang membuat Tini bersahabat dan bertetangga dengan warga Jawa dan Melayu di Lubuksemut. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan saat masih remaja, kala tinggal di Kampungutama, Batam.


Senin pekan lalu, saat Batam Pos mengucapkan salam, ia menjawab dengan fasih. Padahal, dua puluh tahun yang lalu ia sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia. ''Dulu, sehari-hari saya pakai bahasa Teo Chiuw. Baru bisa bahasa Indonesia setelah bersuami orang Jawa,'' katanya.


Sambil menunggu kedatangan Eriyanto yang sedang mengantar kerupuk amplang ke sejumlah mini market, Batam Pos diajak ke rumahnya. Ternyata, perubahan dalam diri Tini tak hanya soal bahasa. Ruang tamunya juga tak lagi dihiasai ornamen-ornamen atau hiasan khas Tionghoa.


Sepuluh menit menunggu, Eriyanto tiba. Tampak sekali perbedaan suami-istri itu. Eriyanto berkulit sawo matang, terbakar matahari. Sementara Tini berkulit kuning, khas perempuan-perempuan warga Tionghoa. ''Untung anak-anak kami tak ikut bapaknya,'' kata Tini, yang disambut senyum Eriyanto dan anak-anak mereka. Empat anak pasangan ini berkulit kuning dan bermata sipit.


Bagaimana Tini dan Eriyanto bisa menikah, Tini yang banyak bercerita. Semuanya berawal saat Tini bekerja sebagai pemandu wisatawan di sebuah biro perjalanan di Batam sekitar tahun 1987. Umur Tini saat itu baru 15 tahun. Hampir setiap hari, Tini memandu wisatawan-wisatawan asing asal Singapura ke tempat-tempat wisata di Batam.


Sementara Eriyanto adalah supir bus yang setiap hari pula mengantar wisatawan-wisatawan itu. Eriyanto meski bukan orang Tionghoa, pintar berbahasa Teo Chiuw. ''Saya malah hanya berbahasa Jawa kalau ke Bengkong, nengok saudara,'' kata Eriyanto.


Setiap hari mereka bertemu. Kadang Tini sering bercerita soal sikap bosnya ke Eriyanto, begitu Eriyanto juga bercerita ke Tini. Komunikasi mereka lancar. Tini yang tak bisa berbahasa Indonesia, tak sulit berkomunikasi karena Eriyanto bisa berbahasa Teo Chiuw.


Berbulan-bulan bersama, cinta itu datang. Tini jatuh hati pada Eriyanto, yang usianya terpaut 16 tahun. Mereka pun pacaran. Namun saat hati mereka sedang berbunga-bunga, keluarga Tini tak setuju. Ibu Tini tak suka anaknya berpacaran dengan pria yang tak bermarga Tionghoa.


Tapi Tini tak patah arang. Ia mencoba segala cara untuk meluluhkan hati ibunya. Eriyanto juga dimintanya mengambil hati calon mertuanya itu. ''Setiap kali habis kemana gitu, dia (Eriyanto,red) pasti bawain oleh-oleh buat ibu saya. Ibu lama-lama memberi restu,'' tutur Tini.


Beda dengan keluarga Tini, keluarga Eriyanto menyambut baik kehadiran Tini. Mereka gembira Eriyanto yang sudah berkepala tiga akhirnya bakal dapat jodoh.


Restu keluarga didapat, persoalan lain datang. Saat hendak menikah, giliran Tini yang bimbang. Ia risau kalau harus meninggalkan keyakinan lamanya, mengikuti keyakinan Eriyanto yang beragama Islam. ''Berbulan-bulan saya berpikir. Lama juga sebelum akhirnya saya memutuskan menikah,'' katanya.
Di rumah keluarga Eriyanto, di Lubuksemut Karimun, pernikahan mereka disahkan sekitar tahun 1989. Usai menikah, Eriyanto dan Tini kembali ke Batam menekuni pekerjaan mereka. Baru di awal tahun 1990-an, putri pertama mereka, Mega Rini, 16, lahir.


Di awal berumah tangga, sehari-hari Eriyanto dan Tini tetap berbahasa Teo Chiuw. Anak-anak mereka juga demikian. Baru setelah mereka kemudian menetap di Karimun sekitar tahun 1999, Tini belajar berbahasa Indonesia.


Tiga anak mereka kini menguasai dua bahasa, bahasa Teo Chiuw dan bahasa Indonesia. Saat Batam Pos ke sana, Mega Rini, 16, Nina, 15, dan Rina Karmila, 10, berbahasa Melayu saat berbincang dengan ibu dan tetangga mereka.


Menurut Eriyanto, ia tak membatasi pergaulan anak-anaknya. Suatu saat, jika mantu nanti, ia juga tak akan memilih anaknya harus menikah dengan orang Tionghoa atau Jawa. ''Itu terserah anak. Yang penting bagi saya, dia bisa membahagiakan anak saya.''


Kini pasangan ini berbisnis kerupuk amplang merek Bona. Kerupuk hasil home industri itu banyak dijual di mini market-mini market di Karimun. ''Dulu, di awal-awal menikah, hampir sepuluh tahun kami hidup susah,'' kata Tini.


Beberapa kilometer dari rumah Eriyanto, masih di Lubuksemut, Karimun, juga tinggal pasangan suami-isteri, yang suaminya bermarga Tionghoa. Namanya Nur Ikhsan alias Tjia Mei Hua, 64, kelahiran Karimun. Sementara isterinya Mas Amah, 39, asli Cirebon.


Nur Ikhsan kini tak lagi menggunakan nama Tionghoa-nya. Tiga anaknya diberi nama Arab. Ia sendiri biasa dipanggil Pak Haji. Tahun 2004 lalu, ia naik haji mendapatkan fasilitas Pemkab Karimun. ''Pak Nurdin (Bupati Karimun) yang menghajikan saya,'' katanya.


Pernikahannya dengan Mas Amah, kata Nur Ikhsan, diawali pencariannya akan makna hidup. Dua kali ia berubah keyakinan, sampai akhirnya menemukan Islam. Dengan maksud memperdalam agama, ia berlayar tiga hari tiga malam menuju Cirebon di tahun 1980-an.


Sebulan di Cirebon, ia kembali ke Karimun karena bapaknya menderita stroke. Begitu tahu kalau Nur sudah berubah keyakinan, keluarganya menolaknya. Namun, ia tetap bertahan sampai akhirnya ia kembali pergi ke Cirebon, saat ayahnya meninggal.


Selama di Cirebon, ia memperdalam agama. Untuk menyambung hidup, Nur mengelola toko milik orang lain yang dipercayakan padanya. Tahun 1987, saat berjalan-jalan di sekitar pondok Gedongan Cirebon, ia tertarik pada Mas Amah, seorang santri. Nur Ikhsan pun melamarnya.


Amah sendiri mengaku tak pernah memikirkan latar belakang Nur yang bermarga Tionghoa, saat memutuskan menerima lamaran Nur. ''Saya pasrah saja pada Allah,'' katanya. Tiga tahun setelah diusir keluarganya, Nur Ikhsan kembali dipanggil ke Karimun.


Ibunya meminta dia kembali. ''Karena ibu yang manggil, saya ke Karimun,'' katanya.


Ibunya menyambut hangat. Namun, adik-adiknya tetap tak mengakui Nur. Baru setelah sekian lama, hubungannya dengan saudara-saudaranya mencair. Tapi di bidang usaha, Nur harus benar-benar membangun usaha sendiri. Ia membuka jasa foto kopi di kantor Dispenda. ''Usaha kecil, cukup untuk makan,'' katanya.


Kini Nur hidup bahagia dengan Mas Amah. Mereka punya tiga anak, dua laki-laki, satu yang bungsu perempuan. Warna kulit anak-anak mereka ikut ibunya. Namun, mata mereka ikut bapaknya, sipit. ''Anak saya tak mau dipanggil Cina,'' kata Nur.


Nur menjadi panutan orang-orang Tionghoa yang menikah dengan warga Melayu atau suku lain, terutama yang berubah keyakinan menjadi Islam. Ia sering menjadi guru, tempat mereka belajar Islam. Warga Singapura yang menikah dengan orang Karimun juga belajar kepadanya.


Kadang, kata Nur, mereka datang ke rumahnya. Kadang, Nur yang datang ke rumah mereka. ''Sekarang saya tak mau lagi. Mereka datang minta diajarin kalau mau menikah saja. Kalau sudah menikah, tak mau belajar lagi.''


Pernikahan antara Kho Siu Moi dan Eriyanto atau Tjia Mei Hua dengan Mas Amah adalah contoh dari puluhan kisah pernikahan warga Tionghoa dengan suku lain. Mereka banyak berada di Karimun, di Tanjungpinang dan kota lain yang penduduk Tionghoanya cukup banyak.


Januari lalu misalnya, seperti yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Karimun, juga menikah laki-laki Tionghoa Kek Hoksun, 43, dengan gadis Melayu, Maylinda Ariyanti, 25. ''Sekarang kalau ada pernikahan antara warga Tionghoa dengan warga Melayu dan lainnya itu sudah biasa. Keponakan saya saja menikah bukan sama dengan orang Tionghoa,'' kata Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Kepri Harsono. ***



batampos.co.id
minggu, 8 maret 2009
foto internet

Tidak ada komentar: